Minggu, 28 November 2010

Matahari terakhir dikota panas...

 

Lebah Biru..

Masih gelap... baru saja memasuki waktu subuh disebuah terminal yang masih asing ini. Subuh yang terasa lebih awal disini. Setelah 12 jam perjalanan panjang, diantarkan bus antar kota antar propinsi dari Purwokerto. Kami satu rombongan besar, lebih dari 15 orang. Berangkat bersama untuk memulai sebuah cerita baru. Mengawali sebuah perjalanan panjang dikota yang terkenal keras dan panas ini. Surabaya akan menggantung mimpi-mimpiku.

 

“Ponten” sebuah tulisan asing pertama yang kubaca disudut terminal ini. yang ternyata berarti TOILET atau WC UMUM. Aku tidak mengenalnya dalam bahasa itu di Jawa Tengah. Bersih bersih diri dan Sholat Subuh berjamaah di masjid Terminal Bungurasih. Titik awal yang aku mulai untuk mengenal kota ini, dan ternyata beberapa tahun berikutnya selalu menjadi titik pertemuan sebelum aku dan kawan-kawan di Surabaya melakukan perjalanan lain menyapa alam.

 

Pagi itu, akhir juli 2001. Aku dan beberapa kawan akan mempersiapkan sebuah lembaran panjang. Memulai dunia kerja dengan magang disebuah perusahaan berlambang Lebah Biru dengan moto ”Setia melayani Anda”. Diantarkan sebuah bus dalam kota bernomor P1 jurusan Bungur – Perak. Melawati jalan panjang dengan beberapa tugu terkenal menyambut kami, Patung Suro Boyo yang sedang bertarung dan Patung Karapan Sapi. Kemudian bus kota itu mengantarkan kami di Halte Tunjungan Plaza.

 

 

Sebulan kemudian aku tinggal di samping mall terbesar dan cukup terkenal di Surabaya saat itu. Di Kaliasin Pompa gang III. Menjadi bagian kota panas ini tidak pernah ada dalam mimpiku. Bahkan beberapa bulan sebelumnya aku sudah berkelana ke Jakarta untuk memperjuangkan hal yang sama. Dan akhirnya menjadi bagian dari kota panas ini. Tiga bulan kemudian perpindah kerja, masih tidak jauh dari lingkup lingkaran biru ini, bermain dengan kabel dan telepon rumah. Akhirnya tak terasa mengantarkaku 5 tahun berikutnya menjadi bagian darinya. Dengan berpindah pindah lokasi di Kebalen (dekat House Of Sampoerna) Wiyung, Lakarsantri dan Ketintang. 5 tahun menjalani sebuah pekerjaan yang sama dengan dasar ilmu saat di SMK, Jurusan Jaringan Kabel. Ah.. ilmu yang aneh, yang ternyata sampai sekarang pun masih aku gunakan menjadi jalan hidupku.

 

Techno Flower..

Setelah lima tahun bermain dengan kabel, targetku selanjutnya adalah mencoba dunia yang merupakan perkembangan teknologi darinya, Dunia Teknologi Sellular. Masih di dunia telekomunikasi yang memang sudah menjadi bekalku sejak memilih sekolah  kerjuruan di Jl DI Panjaitan Purwokerto. Berbeda dengan kerjaanku sebelumnya yang sebagian besar bermain fisik dengan jointing (penyambungan) kabel tembaga, kali ini bermain dengan routing dan angka angka sebagai seorang Core Engineer. Aku lebih menyebutnya dengan “ilmu ghoib” dimana, segala kerjaan yang dikerjakan lebih banyak bermain dengan remote remote perangkat. Alias perangkatnya dimana kerjanya dimana itu tidak penting yang penting komunikasi tetap berlanjut dan semua senang.

 

 

Awal tahun 2000 adalah awal perkembangan dunia telekomunikasi non kabel, teknologi Seluler mulai merajainya, dari komunikasi suara dan akhirnya sekarang ini komunikasi data menjadi kebutuhan utama mulai menggantikan kebutuhan komunikasi suara. Lihatlah persaingan semakin ketat, nilai rupiah seakan tidak  ada harganya lagi. Bekerja dibalik nama besar tentunya memberikan sebuah kenyamanan tersendiri, meskipun kadang juga kenyamanan itu semu. Dan pada saatnya akan mematikan bagi mereka yang terlena akan sanjungan itu. Dan aku terusik, setelah 3 tahun 9 bulan bekerja bersama bunga teknologi ini, setelah mencoba menimba ilmu tentang komunikasi jarak jauh. Akhirnya aku mengikui teman-teman yang sudah “lulus” mendahului. Mengejar mimpi dan berpetualang didunia teknologi tanpa batas yang terus berkembang pesat ini.

 

A100, A cepek...

Selama di Surabaya, aku punya teman sejati yang menemani sejak awal memasuki kuliah ekstensi hingga aku lulus mendapatkan gelar Sarjana Teknik.  Suzuki A100, bekas tukang pos, dengan sebuah lambang burung merpati yang masih tersisa diatas dok lampu depannya. Itulah bekal yang diberikan oleh kedua orang tuaku, saat aku memilih  untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sarjana.

 

Kalo berjalan penuh asap seperti fogging DBD, dengan suara menggelegar seperti pembalap, tapi Cuma suaranya yang kenceng sedangkan motornya berjalan santai-santai saja...

 

Itulah motor butut yang menemaniku mengelilingi Surabaya, menemaniku bekerja, kuliah dan kadang sedikit jalan jalan ke kota. Hm... adakah yang cewe yang meliriknya, ternyata masih ada :”>.Saat kuliah motorku lebih dikenal dengan sebutan “Umplung Dancow” atau Kaleng susu Dancow karena tepat dibawah tangki bensin terdapat sebuah saringan udara berbentuk silinder seukuran Kaleng susu dancow... haha... julukan yang aneh dari temen temen kuliah.

 

Meskipun hanya A100 dengan kecepatan tidak melebihi 80km/jam. Sering aku ikut teman-teman kampus jika ada acara diluar Surabaya. Yah meskipun selalu nyampe terakhir yang penting tetep pede dan bisa bermain dan berkumpul dengan teman-teman kampus... hohoho...

 

 

Dan matahari siang ini bersinar terik

Meskipun awan hitam menggantung di beberapa sisinya..

Sedikit gelap tapi hangat masih menyelimuti bumi Pahlawan...

Hangat yang khas...

Aroma yang terampas...

Aku pasti akan merindukan teriknya...

Aku pasti akan merindukan peluh ini...

Dan aku pasti akan kembali...

 

Dan, siang ini aku menikmatinya sebagai Matahari Terakhir dikota Panas ini... Kota yang sudah 9 tahun 5 bulan ini mengenalkan saya pada sebuah kehidupan panas dan keras khas Surabaya. Setelah belajar dan berguru pada Lebah Biru, bermain bersama bunga teknologi... dan kemudian mengantarkanku untuk berlajar jurus Kipas Merah di ibu kota...

 

Semoga bukan kejamnya ibu kota yang akan menyambutku, tapi belaian ibu Muda yang akan memanjakanku dengan kemacetan dan kesibukan Jakarta...

 

.. nona muda juga mau... :”>

 

 

hans

www.trihans.com

Minggu, 21 November 2010

Ngonthel....

 

Sekitar dua bulan ini saya memelihara sebuah sepeda onthel torpedo yang beberapa bagiannya sudah disinggahi karat. Saya meminjamnya dari seorang teman kantor, tepatnya mencoba menyelamatkanya dari kerusakan yang lebih parah. Bagaimana tidak, si empunya membeli sepeda onthel kuno itu dari Jogja dan hanya dibiarkan terongok gak karuan di samping parkiran motor, lebih mengenaskan lagi sebagian diantara dengan bebas diterpa hujan dan panas. Maka berkaratlah bagian itu. Pertama kali saya meminjamnya dengan kondisi yang mengenaskan, beberapa karat lekat dan kedua ban-nya dalam kondisi kempes. Akhirnya dengan sedikit reparasi ringan bisa memulihkan si ontel yang sudah 4 bulan seperti tanpa tuan itu.

 

Beberapa kali saya menggunakanya untuk berkeliling disekitar kos sekedar untuk membeli makan siang atau untuk berangkat kerja jika dapat jatah masuk wiken. Cukup menyenangkan, apalagi saya sangat suka dengan jalanan. Menikmati tingkah polah manusia-manusia yang kutemui disana. Bukan hanya dengan sepeda ini, jalan kaki pun saya suka atau tepatnya sangat suka. Ketintang – Porong sejauh 25 km adalah rekor jalan kaki terjauh yang saya jalanani 2 tahun kemarin. Sisanya adalah jalan kaki disekitar kota Surabaya yang terkenal panas ini seperti ke Tugu Pahlawan sejauh 7km, juga beberapa kali ngantor sejauh 5km jalan kaki atau sekedar blusukan ke Pasar Wonokromo yang hanya berjarak 1 km dari kosku.

 

Sore tadi saya menikmati jalanan Surabaya dengan rasa yang berbeda, terasa lebih dalam dan lebih menikmati saya mengayuhkan pedal pada gir-gir rantai yang sudah lama tidak tersentuh oli ini. Hawa sejuk sehabis hujan, dan tentunya sebuah persiapan rasa lain yang sedang saya persiapkan untuk meninggalkan kota ini. Kota yang Sudah 9 tahun 5 bulan ini mengenalkan saya pada sebuah kehidupan panas dan keras khas Surabaya, dan untungnya saya bisa menikmati dan berbaur didalamnya tanpa harus kehilangan karakter.

 

Mengayuh dengan agak berat, karena sepeda ini adalah torpedo. Sepeda yang apabila kita mengayuh kebelakang (berlawanan dengan arah maju) maka akan mengerem pada poros roda belakang. Lebih berat lagi memang karena sudah cukup lama tidak ketemu dengan minyak pelumas. Dari Ketintang menuju ke kantor di Jalan Kayuun. Disekitar Wonokromo beriringan dengan keramaian simpul kemacetan. Mengayuh dengan lengang hingga sampai di jalan Diponegoro. Dari samping patung Suro dan Boyo khas simbol Kota ini saya menyebrang ke arah timur, melewati lampu merah kemudian memasuki Jalan Darmo.

 

Di Taman Mayangkara

 

Disinilah keisengan itu dimulai, membelokan arah kekiri sedikit tepat diantara bangunan kuno yang dulu pernah digunakan sebagai Musium Empu Tantular dan taman Mayangkara. Memarkirkan posisinya onthel di tengah dan mengambil beberapa gambar dengan hape. Bagitulah perjalanan ini dimulai, berhenti disetiap tempat-tempat menarik sepanjang Jalan Darmo sampai Jalan Basuki Rachmat. Yang memang sudah tertata Rapih dan memanjakan Pejalan kaki.

 

Sejak akhir tahun 2006 dinas pertamanan dan tata kota Surabaya yang dahulu di kepalai oleh ibu Tri Risma Hariyani telah sukses mengubah wajah kota ini menjadi lebih baik, beberapa taman dibangun dan selalu ramai menjadi tempat alternatif bermain bersama keluarga. Pedestrian juga dibuat lebih lebar dengan mengurangi lebar aspal. Karena kesuksesannya inilah beliau sekarang terpilih menjadi Walikota Surabaya. Dan sore tadi aku memulih menaiki ontel diatas pedestrian. Selain lebih halus juga tidak khawatir jikalau ada kendaraan yang iseng nyium dari belakang.

 

RSI Darmo

 

Beberapa persinggahan dipilih dengan model utama sang Onthel. Berhenti didepan Taman Bungkul, dibawah Plang jalan Begawan, Jalan Darmo, didepan RSI Darmo. Di depan RSI aku tertarik dengan sebuah prasasti yang ditulis dalam dua bahasa. Sayang sekali saya tidak bisa membacanya karena memang tidak terawat. Bangunan utama yang menjadi ikon RSI Darmo itu dahulunya ternyata adalah yang  dipakai Jepang sebagai Kamp Interniran Anak-anak dan Wanita. Setelah pasukan Sekutu datang, kamp ini diambil alih Let. Kol. Rendall. Pada tanggal 27 Ooktober 1945 gedung ini menjadi pusat pertahanan pasukan Brigjen Mallabay (sumber: wikipedia). Atau kalau melihat tanggalnya seminggu kemudian terjadi serangan besar-berasan arek suroboyo yang menewaskan sang Jendral.

 

Dari RSI rencana mau menyebrang di jalan Bintoro untuk menikmati Sembako-nya cak Mis, tapi sayang ternyata cak Mis sedang libur dan tidak terlihat keramaian di jalan itu. Akhirnya kembali mengayuh onthel ke utara, mampir sebentar di depan Wisma Wismilak, mengambil beberapa pose dan berpindah ke perempatan Dr Sutomo, terus keutara dan sampai di jalan Basuki Rachmat. Menyebrang Zebra Cross di depan Gramedia Expo kemudian kembali ke arah selatan dan perpose di depan patung Karapan Sapi. Patung pertama yang aku lihat saat aku pertama kali datang ke kota ini.

 

Dan perjalanan sore ini berakhir di Kantorku yang akan segera aku tinggalkan ini. menempatnya sama seperti saat aku “menyelamatkanya”. Besandar pada sebuah pilar di ujung utara Gedung Teknik Kayuun.



 

diseberang Taman Bungkul
di jalan Darmo
di Depan Patung Karapan Sapi

 

-hans-

www.trihans.com

Jumat, 19 November 2010

Surat....

Hari ini aku membongkar barang-barang yang ada di kamar kos yang sudah kutiduri hampir 8 tahun ini. Memilah dan membanginya ke dalam beberapa kardus yang siap untuk menyimpannya, entah sampai waktu yang belum ditentukan. Aku akan berpisah dengan barang2 yang sebagian besar berupa kertas itu, mulai dari buku-buku teknik maupun novel koleksiku yang ternyata tak cukup dengan satu kardus berukuran sedang ini. Buku-buku itu akan aku titipkan semetara ke Nurul, mungkin akan lebih bermanfaat jika bersamanya. Sedangkan kertas kertas yang lain aku memilihnya untuk memisahkan dariku selamanya. Yaitu berupa: Buku-buku jaman kuliah yang telah dimakan umur, kertas foto kopian, majalah lama dan beberapa barang yang ternyata cukup lama ikut denganku, surat-surat dari sabahat yang masih tertata rapi dalam amplopnya dengan sebuah nama mengisi kolom pengirim.

Dunia sudah berubah, teknologi digital telah menggantikanya. Digit-digit binner “1” dan “0” telah mentansformasikan setiap bentuk file yang ada didunia ini. Pun karakter-karakter yang  dahulu keluar dari tinta dan pena kini telah dengan mudahnya menjadi bagian dari teknologi digital. Bukan Cuma itu, gambar dan gambar bergerak juga sudah dengan mudahnya mewakili keberadaan kita ditempat yang berbeda. Menyingkat jarak dan waktu, seolah dunia ini sekarang tanpa sekat lagi. Menjadinya lebih ringkas dan seluas monitor komputer bahkan lebih kecil lagi menjadi selebar LCD HP. Dunia Seluas Monitor.

Beberapa lembar kertas yang menarik perhatianku siang ini adalah surat-surat usang itu. Aku membaca beberapa diantaranya, dari nama-nama yang sudah jarang aku dengar. Entah karena dia tidak memiliki account pribadi didunia maya, atau karena aku sudah terlalu lama kehilangan jejaknya. Tersenyum dan tersenyum saat membaca tulisan tulisan mereka. Hampir dengan alur yang sama, diawali dengan basa-basi menanyakan kabar... kemudian berlanjut dengan cerita singkat tentang kisah kisah yang pernah dijalani bersama, atau berupa cuhat-curhat masa kecil.. tentang permainan disudut kelas hingga akhirnya ditegur pak guru,...  Ada juga surat-surat cinta jaman STM... (malu membacanya.. :”> ... argh!!... Tiba tiba aku merindukan masa itu). Kemudian diakhiri dengan beberapa kalimat yang membuatku semakin tersenyum.

“nb: kamu kelas 3 apa?”

Atau “kalo sempat dibalas ya mas...”

Dan beberapa kalimat senada yang maksud dan tujuannya tentu menginginkan adanya balasan dari surat tersebut.

Menulis Surat, ternyata sebelum aku mengenal internet dengan lebih baik seperti sekarang ini, akupun sudah mulai menyukai yang namanya tulis menulis. Ada 3 buku catatan yang hampir penuh berisi tulisan-tulisanku yang kebanyakan puisi, catatan kaset, catatan buku, bahkan berisi rincian keuangan sebagai anak kos... Dan selain dari yang tersimpan itu tentunya aku juga suka menulis surat. Masih teringat beberapa surat aku tulis dan kukirimkan ke seorang kawan. Bukan Cuma 1-2 lembar, hampir dipastikan berisi lebih dari 4 lembar bahkan mungkin puluhan lembar... hahhaa... entah dibaca atau enggak oleh si penerima. Aku sih yakin dibaca aja, soalnya jaman dulu belum ada kesibukan mantengin wall biru seperti sekarang ini.

Dan akhrinya keputusan beratpun aku pilih, untuk memisahkanya dariku. Aku pilih dengan memusnahkanya. Memotong menjadi bagian bagian kecil sebelum akhirnya menjadi penghuni kardus penuh kertas yang rencananya akan ku kasihkan ke pembantu ibu kos, biar nanti  dijual dan uangnya bisa dipakai olehnya.


Selamat berpisah surat surat masa kecilku...

Semoga si pengirim dan penerima surat itu membaca tulisan ini sambil tersenyum juga...

 

 

-hans-

www.trihans.com

 

Rabu, 17 November 2010

Aku Cinta Musium... :)

 

Aku Suka Musium. Bagi sebagian orang mendengar kata museum mungkin ingatanya dipaksa kembali ke masa-masa saat masih jaman Sekolah Dasar. Besama sebuah rombongan satu angkatan kelas, kemudian berbondong bondong kesebuah tempat membosankan yang berisi kumpulan barang kuno. Dan kemudian harus menyelesaikan tugas laporan kunjungan tanpa mengerti apa yang harus dipelajari dan ditulis. Benar kah?

Bisa benar bisa tidak, aku mungkin membenarkan karena jauh sebelum sekarang ini, aku jarang sekali berkunjung ke tempat yang kebanyakan berupa bangunan kuno dengan sudut menyeramkan. Hanya teringat masa Study tour SMP yang jauh-jauh datang dari daerah hanya untuk melihat sebuah sumur tua di Musium Lubang Buaya atau mungkin berkunjung di Benteng Van Der Wick di Gombong, masih satu kota dengan asalku dan saat itu benteng itu hanya berupa bangunan kuno tak terurus. Tapi beberapa tahun terakhir setiap aku jalan ke sebuah kota setidaknya aku mencoba untuk melihat dan mengenal lebih jauh sejarah yang ada disana.

 

Aku Suka Sejarah, masih ingat di Rapot masa-masa sekolah beberapa diantaranya dihuni oleh angka “9”. Memang karena aku suka hapalan, suka mengenal sejarah dari sebuah peradaban. Dan sekarang pun aku suka menikmati seni yang disuguhkan sebuah interior museum. Juga kualitas seni tingkat tinggi dari sebuah barang koleksi yang ada. Belum lagi jika aku harus dipaksa untuk memasuki masa-masa yang telah dilewati barang tersebut. Huaaaaah… rasanya saya seperti berada dalam masa lampau yang bercerita dengan sendirinya. Lihat saja, theme Multiply-ku di www.trihans.com ini pun aku dedikasikan untuk Musium, terbuat dari dari sebuah gambar lukisan kaca di Musium Bank Mandiri yang aku ambil akhir April kemarin. Dan beberapa link di side bar-nya merupakan link ke Departemen Kebudayaan, Gerakan Cinta Musium dan beberapa komunitas yang aku ikuti.

 

Minggu kemarin, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Kota Pahlawan aku berkunjung ke Musium Tugu Pahlawan. Ditemani dua orang teman, Doi Fani dan ning Mira. Tujuan awalnya adalah melihat Finish gerak jalan 40 km dari Mojokerto ke Surabaya dengan Finish di Tugu Pahlawan yang memang diadakan setiap tahun untuk memperingati hari Pahlawan.

Ada 7 museum yang tergabung dalam Program promosi untuk museum SAMPOERNA for Indonesia. Dimana di setiap museum terdapat leaflet tentang 7 museum tersebut. Diantaraya adalah:

1. House Of Sampoerna - Surabaya,

2. Tugu Pahlawan dan Musium Sepuluh November – Surabaya.

3. Musium Geologi - Bandung

4. Musium Sejarah Jakarta (Museum Batavia) - Jakarta

5. Musium Nasional (Museum Gajah) – Jakarta

6. Musium Bank Mandiri – Jakarta

7. Musium Batik Danar Hadi – Solo

 

Dari ketujuh musium itu, hanya tertinggal 1 museum yang belum aku kunjungi, Musium Batik Danar Hadi dikota Solo. Sebenarnya akhir Oktober kemarin sudah berniat ke sana, tapi karena ada beberapa hal akhirnya harus menunggui teman yang nyasar di Cemoro Kandang – Lawu, Solo. Selain proyek mengunjungi 7 musium tersebut ada beberapa museum yang telah aku kunjungi tahun ini, seperti: Musium Keramik dan Seni Rupa, disini aku menemukan lukisan terkenal Antonio Blanco tentang Penari Bali; Musium Wayang yang sangat kental dengan sejarah VOC Jan Pieterzoon Coen, kedua musium ini terletak dikomplek Kota Tua Jakarta; Musium Taman Prasasti di Tanah Abang, dengan tujuan utama mengunjungi nisan Soe Hok Gie; Musium Joang 45 - Menteng, meskipun dua hari di event JUST Travellers aku belum sempat masuk ke museumnya, suatu saat nanti kalo ada waktu pengin melihat koleksi tentang seorang yang kukagumi, Bung Karno; Musium Prambanan di komplek Candi Rorojongjrang yang aku kunjungi setelah membaca sebuah buku dengan nuansa Sejarah Klasik Indonesia, Arok Dedes-nya Pramoedya Ananta Toer; Musium Bung Karno di komplek makam Bung Karno Blitar; Musium Empu Tantular – Sidoarjo, melihat peninggalan sejarah di seputar Jawa Timur; Musium Majapahit di Pusat Informasi Majapahit dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa peninggalan Majapahit, Kolam Segaran dan Candi Tikus; Dan Musium Geologi Karangsambung di Kebumen, kunjungan lebaran bersama teman–teman masa kecil.

 

 

Huaaa… ternyata cukup banyak ya, (*malu... jadi ketauan sering jalan jalan). Beberapa tulisan tentang museum itu ada di MP atau note FBku. Nah sekarang ijinkan saya melanjutkan menceritakan kunjungan ke Museum Tugu Pahlawan dan Musium Sepuluh November. Beberapa hari kemarin di status biru ku, aku menyinggung tentang Bung Tomo, sebagai tokoh sentral dalam sejarah Pahlawan di kota ini, ternyata baru tahun 2008 kemarin beliau resmi mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Kemudian dikomentarnya bersambung tentang berapa tinggi Tugu Pahlawan, dan dimana Bung Tomo meninggal. Sebuah pertanyaan simple yang mungkin banyak dilupakan oleh penghuni bangsa ini.

Sebuah Tugu Putih menjulang ditengah lapangan setinggi 45 yard (41.13 meter), runcing dengan beberapa ornament kecil seperti mahkota berwana emas dibawah ujungnya. Dan pangkal bawahnya dicat berwatna hijau tua. Tugu Pahlawan terletak di sebelah barat Kantor Gubernuran Propinsi Jawa Timur dengan sebuah viaduk lintasan kereta api disebelah utaranya yang bebatasan dengan Bank Indonesia. Diapit oleh 3 jalan besar Tugu Pahlawan sangat mudah di capai, sekitar 500 meter dari Stasiun Pasar Turi. Bisa Juga dijangkau dengan semua Bis Kota yang menuju ke Tanjung Perak atau Jembatan Merah Plasa, pilihlah yang tidak melewati TOL.

Dengan dua buah pyramid yang berujung lancip dari kaca. Saya teringat La Pyramide Inverse'e-nya Museum de Louvre di buku Da Vinci Code atau yang ada di dalam film dengan judul yang sama. Sama-sama berupa dua pyramid, Bedanya disini Piramidnya saling berjajar sedangkan di Louvre pyramid-nya saling bertumpu ujungnya… (haha… kaya pernah ke Prancis aja :P). Hanya dengan membayar tiket Rp 2.000,- kita bisa menikmati sejarah panjang tentang perjuangan heroik arek-arek Surabaya mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Masuk dan diawali dengan sebuah jalan menurun dengan sebuah relief tentang perang Surabaya. Kemudian turun ke lantai dasar yang ditengahnya berupa patung 10 pejuang pesis adegan sebuah teather jalanan.

Di lantai dasar ini berisi tentang beberapa koleksi organisasi masyarakat yang ikut berjuang dalam perang selama tiga hari yang menewaskan Jendral Malabay. Foto peletakan baru pertama oleh Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia saat itu. Sebauh ruangan pemutaran film sejarah perjuangan yang layarnya terlalu luas dari pada gambar yang disuguhkan, belum lagi backgrodnya diberi sket awan, jadinya malah filmnya tidak terlihat jelas ditambah sound yang sepertinya diseting sekenanya. Kemudian naik ke lantai dua, dari sisi tengah lantai dua kita dapat melihat patung yang ada di di lantai satu. Dan di lantai dua terdapat beberapa ruangan kecil yang berisi kotak-kotak diaroma, cukup menarik dengan suara-suara perjuangan dan diaroma dialog adegan sejarah. Selain itu juga ada koleksi bebagai senjata kuno khas pasukan dari Eropa jaman Perang Dunia II. Dari senjata-senjata itu sudah terlihat sebuah senjata modern hasil Revolusi Industri disana.

 

 

Ada dua hal menarik yang aku temui disini, Satu berupa surat ultimatum yang dikirimkan oleh pasukan Belanda atas meninggalnya Jendral Malabay. Belanda meminta seluruh pejuang yang ada di Surabaya untuk meyerah atau Belanda akan membumi hanguskan Surabaya. Sedangkan satu koleksi lainya adalah berupa Radio kuno yang terbuat dari kayu. Dengan ukuran sebesar TV 14”, tapi jika dilirik bagian dalamnya terbuat dari komponen elektronika yang masih sangat besar (belum mengenal semikondurktor apalagi teknologi nano seperti sekarang). Saya sempat melihat sebuah Resisitor kaca yang sebesar lampu dop mobil yang pecah didalamnya, Sebuah Speaker ukuran 5“ dengan membran yang tebal. Terbayang suara beratnya…hhaha… Radio tersebut adalah Sumbangan dari istri bung Tomo. Yang merupakan cinderamata dari masyarakat Tanah Abang, radio tersebutlah yang digunakan untuk mendengarkan pidato penuh semangat Bung Tomo untuk menggerakan arek-arek Suroboyo.

 

 

Keluar dari Musium ini yang sudah dikonsep cukup modern dengan sebuah escalator disetiap tangga naik maupun turun, meskipun saat saya datang sedang dimatikan (atau mungkin memang jarang di hidupkan). Kembali keatas dan menemukan 3 patung yang dibawahnya bertuliskan “MAKAM PAHLAWAN TAK DIKENAL – Disini kau tidur dalam keadaan tanpa batas sebagai pahlawan tak dikenal… ”. Diyakini dahulu setelah perang usai, dilokasi makam ini ditemukan banyak jasad pejuang yang tewas. Lokasi ini sebelumnya merupakan kantor pendudukan Jepang yang kemudian saat Bung Karno menjadi Presiden dan Gubernur Suryo menjadi Gubernur Jawa Timur dibangunlah Tugu Pahlawan ini untuk memperingati perjuangan Arek- arek Suroboyo yang datang dari berbagai daerah disekitarnya., Seperti Pasuruan, Madura, Mojokerto dan sekitarnya. Dan untuk memperingati perjuangan itulah setiap tahunnya di minggu pertama setelah tanggal 10 November diadakan gerak jalan dari Mojokerto Ke Surabaya.

Belum pernah saya mengikuti gerak jalan itu, tapi pernah menjalani perjalanan sejauh 7km dari kos ku di Ketintang dengan tujuan ke Tugu Pahlawan ini sendirian, pertengahan desember 2008 kemarin… hahaha, Dan kini museum maupun candi adalah tempat yang sangat tidak membosankan bagiku. Menemukan cerita cerita kecil didalamnya adalah sebuah kepuasan dan kebahagian tersendiri bagiku. Sehingga beberapa tulisan pun aku buat dengan senang hati, tidak lagi menjadi laporan kunjungan yang dengan terpaksa yang harus aku kumpulkan ke guru Sejarah, tapi menjadi sebuah tulisan yang akan mengisi blog hitam saya.

 

 

 

-hans-

www.trihans.com

 

Sabtu, 13 November 2010

Puncak Garuda....


Aku pernah memimpikanya, berdiri dipucak teraktiv di bumi Mataram. Puncak batuan vulkanik muda yang rapuh. Tinggi menjulang dengan gagahnya, bahkan tanpa memandangnya pun dia selalu meminta untuk diperhatikan. Luncuran awan panasnya yang lebih dikenal dengan sebutan “Wedus Gembel” telah menunjukan bahwa ia tidak setenang diamnya. Tidak sediam saat pandangan pagi lurus tertuju ke arah sebelah utara dari alun alun Keraton. Dan sejak kecil pun aku sudah sering melihatnya diujung pandang timur jauh, samar-samar dibelakang puncak Sindoro Sumbing.

Bukan cuma melihatnya yang hanya samar dipagi hari, tapi juga sempat merasakan hujan abu disiang menjelang sore, saat masih berbaju putih merah bermain bola dihalaman belakang rumahku, 150 km disebelah baratnya. Dan hampir sebulan ini, Merapi kembali meminta perhatian dunia. Kembali menyuguhkan sebuah pemandangan menakjubkan, puncak api yang terus mengeluarkan lava pijar, luncuran awan panas yang menembus 5 km diatasnya juga wedus gembel yang telah meluluh lantakan bumi disekitarnya. Bahkan seorang yang dengan jujur telah menjaganya pun tak luput ia telan. Ia menjemputnya untuk harga sebuah kesetian.

Merapi, mendengarnya aku teringat dengan puncak batuan muda itu. Yang saat aku kunjungi dimalam gerhana telah menggelapkan langit diatasnya dan membiarkan pijaran bintang-bintang lebih terang di malam itu. Angin dingin yang mengoyak tenda tenda kami yang berdiri sekenanya di pasar Bubrah. Pasar yang membubrahkan tenda kami dengan angin kencangnya. Kemudian menjelang pagi harus kembali tertatih saat mendaki meniti batuan muda itu, ringkih… goyah dan rapuh. Tidak terlalu tinggi, terlihat Puncak Garuda di ujung sana, tapi terasa tak ada habisnya aku menginjakan kaki mendaki bersama ratusan pendaki lain yang ingin merayakan hari Proklamasi. Slayer basah membantuku untuk bernafas lebih mudah saat dari sela sela batuan itu terdengar desis dan semburan tipis gas berwana putih dan berbau belerang pekat.


Puncak Garuda, hanya tinggal tersisa seperempatnya. Seperti sebuah batu runcing yang tertancap di sudut puncak ini. Setelah tertatih dan berebut oksigen dengan asap belerang akhirnya aku berdiri dipuncak ini, Puncak yang pernah aku impikan. Angin kencang masih menyambut dan menemani sejak malam tadi. Sebuah dataran yang tidak begitu luas dikelilingi batuan yang seperti tumbuh dari dalam tanah. Hanya batu dan batu dipuncak ini. Diseberang selatan Puncak Garuda adalah puncak Belerang yang kuning merekah. Suhunya tentu sangat panas. Dengan asap putih dan bau yang menyengat.

Mungkin kini sudah tidak berbentuk seperti ada dalam ingatanku. Sebuah kawah baru dengan diameter 400meter telah terbentuk di atas sana. Penuh dengan lava pijar yang terus bergejolak dan mengalir. Dibawahnya, didalam perut Merapi kini terus bergemuruh tumbukan material padat yang terdengar hingga ke kota Jogja dan sekitarnya. Bisa saja ia memuntahkan semua material itu dengan tekanan yang maha dahsyat… semoga tidak.

 


Citra Satelit Merapi dari Wikimapia.org
Pasar Bubrah sudah tertimbun material baru..rata-rata aliran lava ke Barat, Selatan, Tenggara

 
Citra Satelit Merapi dari Wikimapia.org
Pasar Bubrah & Puncak Garuda sudah tertimbun material baru...

 

Semoga merapi semakin tenang, berdiri kokoh menjadi penjaga Mataram.
Menjadi sahabat bagi kami yang selalu mengunjungi dan mengagumi kecantikan batuan rapuhmu…

 

Mengingat Pendakian Merah Putih dimalam Gerhana
16-17 Agustus 2008 with JPers
 

Catper lengkap:
http://kohan2282.multiply.com/journal/item/39

DONASI untuk MERAPI
http://www.facebook.com/note.php?note_id=461686896601&id=1101198037&ref=mf

 

-hans-
www.trihans.com


Minggu, 07 November 2010

JPers Charity for Merapi (Updated)

Rekans JPers semua.

 

 

Begitu banyaknya bencana yang sedang melanda negeri ini.Kegetiran terlihat di wajah bumi pertiwi yang kita cintai.

Meletusnya gunung Merapi telah menyisakan duka yang begitu mendalam bagi saudara-saudara kita. Sebagai wujud kepedulian kita semua, kami dari milis JPers bermaksud menggalang donasi bagi saudara kita di sana dengan tajuk

JPERS Charity for Merapi.


Untuk donasi bisa di transfer ke rekening :

Rekening BCA : 0390535589
atas nama Hero Christian Martin

Rekening Mandiri : 141 000 541 0055
atas nama Tri Handoko

Dan setelah mentransfer, kirimkan SMS konfirmasi ke Kohan (0816522242)

Semoga sedikit yang kita berikan, dapat meringankan beban saudara kita.
 

Salam Jpers.
Jejak Petualang Community

 

 

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Update Donasi

1. Nel (via BCA)                    =      50.000

2. Nisa (via Mandiri)               = 1.000.000

3. Pak Kun (via Mandiri)         =    100.000

4. koko (via Mandiri)              =    200.000

5. Sofie (via BCA)                  =     50.000

6. Itho Papua (via Mandiri)      =   500.000

7. Reza (via Mandiri)              =     50.000

------------------------------------------>=  1.950.000 --> Per 7/11@5pm
 ====( 8/11/2010 = Belanja tahap pertama )=========> 1.000.000

8. Doni (via BCA)                   =    100.000

9. Eric (via BCA)                     =    100.000

10. Qim (via BCA)                   =    200.000

11. Kary PT CPS (via Mandiri) =    235.000

12. Ari Dwi (Via BCA)              =    155.000

-------------------------------------------->=  2.740.000 ---> Per8/11@10pm

 

13. Nurul (Via Mandiri)             =     70.000

14. Yudani ( Via Mandiri)          =   100.000

15. Ipul (Via Mandiri)                =   100.000

16. NN (via BCA)                     =    201.000

17. Teh Owin (Via Mandiri)      = 1.000.000

--------------------------------->=  4.211.000 ---> Per9/11@8pm

====( 8/11/2010 = Belanja tahap kedua)============> 500.000

======(10/11/2010 = Belanja tahap III)=============>1000.000

18. Epik (Via Mandiri)                =    100.000

19. Vian (Via BCA)                    =     100.000

20. Puji (via Mandiri)                 =     300.000

--------------------------------->=  4.711.000 ---> Per10/11@8pm

 

21. NN (via Mandiri)                  =    300.000

--------------------------------->=  5.011.000 ---> Per12/11@8am

 

22. Loka Halim (via BCA)           =    100.000

--------------------------------->=  5.111.000 ---> Per13/11@8am

 

 

Who Next?? >>>

 REKAP  Per 13/11@8am

MASUK

       Via BCA                =  1.056.000

       Via Mandiri           =  4.055.000

                       >>           5.111.000

KELUAR

       Belanja tahap I   =    854.000 --> PIC Hero (uang yg masuk BCA)

       Belanja tahap II  =    500.000 --> PIC Bang Boim

       Belanja Tahap III= 1.000.000 --> PIC Faries

       Belanja Tahap IV=  1.075.000 --> PIC Faries

                      >>           3.429.000

 

SISA DONASI       = 1.682.000

 

 

[ALOKASI DONASI ]

 

8/11- Team Pertama akan diberangkatkan Senin Malam dengan jatah di Posko Seminari Tinggi St.Paulus, Kentungan- Jakal.

- Relawan yang berangkat menggunakan dana pribadi, seluruh Donasi akan dialokasikan untuk kebutuhan Posko dan Pengungsi.

9/11- Team pertama JPers (Jiteng, Faries, Apui, Eko, Hero) merapat kejogja, belanja kebutuhan pokok : Pembalut Wanita, kebutuhan wanita, Pampers, Susu Bayi. Belanja lagi akan disesuaikan dengan kebutuhan POSKO.

 

(RincianBelanja tahap I)

Pengeluaran:

pampers @10.000 x 10 = 160.000

pembalut @9.615 x 15 = 144.225

susu @ 10.010 x 10 = 100.100

celana dalam wanitia @30.000/lusin x 10 = 300.000 

Bra @35.000/lusin x 3 = 100.000

 

Total = Rp 804.400

Operasional bensin = Rp 50.000 

Total pengeluran tanggal 9 nov 2010 adalah Rp 854.400

 

total uang di rek mandiri gue (faries) Rp 1.000.000

 

 kebutuhan yang diperlukan di posko yang kemaren dikunjungi (posko SD keceme)

- celana dalam dewasa (wanita N pria)

- P3K

- susu balita dan anak2

- sarden dan telor ayam

- minyak goreng

- bumbu dapur

- Bra 

 

9/11 @10pm - Transfer (Rp 500.000) untuk Operasinal dan Belanja (Belanja tahap II) pengiriman barang PIC Bang Boim. catatan: team bang Boim dan Qisute akan membawa Logistik 2 mobil ke jogja besok (hasil donasi dari warga kampungnya).

10/11 @11am - via sms - Hr ini belanja total'a 790.000. 205'a make duit org dlu. Rincian'a nanti d krim.

Pengeluaran hari Ke-2 :  

 (RincianBelanja tahap III)

- garam @ Rp.1295 x 10                   = Rp.12.950

- vetsin 1 Kg                                      = Rp. 22.340

- Penydap rasa @Rp.1915 x 40Pcs   = Rp.76.600

- Kecap 6 Kg                                      = Rp.53.435

- Minyak Sayur @Rp.18.965             = Rp.94.825

- Minyak Telon @Rp.11.950 x 5        = Rp.59.750

- Minyak Tawon @Rp.25.400 x 2Pcs = Rp.50.800

- Minyak Kayu Putih 1Pcs                   = Rp.13.650

- Minyak Kayu Putih @Rp.8600 x 5   = Rp.43.000

- Celana dalam Pria 5 Lusin               = Rp.156.000

- Celana Dalam Wanita 5 Lusin         = Rp.135.000

-Telur 1 Peti                                    = Rp.205.000

- Biaya Operasional Hari Ke-2          = Rp. 70.000

TOTAL :                                          = Rp.993.350

 

13/11 - Laporan Belanja Tanggal 12-11-2010

 

Makanan Anak :

- Gerry Donut : @Rp.465 x 144 : Rp.66.960

- Roma Waffer @Rp.465 x 225 : Rp.104.625

- Biskuat @Rp.465 x 144 : Rp.66.960

 

- Kopi @Rp.5.820 x 20 : Rp.116.400

- Telur 1 Peti : Rp.206.000

- Minyak Goreng 2 Jerigen : Rp.104.000

- Gula 10Kg : Rp.107.000

- Teh 4 Pack @9.275 : Rp.37.100

- Agar - agar @970 x 50 Pack : Rp.48.500

- Minyak Goreng @Rp.19.185 x 6 : Rp.115.110

- Gelas @Rp.1.150 x 3 : Rp.3.450

 

TOTAL                        : Rp.1.075.160,-

 

 

 

Terima Kasih atas Bantuan rekan rekan, semoga meringan beban saudara kita.

 

Salam Jpers.

Jejak Petualang Community

Rabu, 03 November 2010

Kamar 13… di ketinggian 1830mdpl

-di Ketinggian 1830 mDPL-


Dalam dingin dan gelap malam, aku duduk sendiri diantara jalan licin yang dibuat berundak-undak ini, seperti anak tangga dengan batang kayu ataupun akar-akar pohon yang dibiarkan melintang dijalan. Gelap, sekitar 50 meter dibawah sana adalah Base Camp Cemoro Kandang. Pos pendakian Gunung Lawu yang berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan sekitar 500 meter disebelah timurnya adalah Base Camp Cemoro Sewu masuk dalam wilayah Jawa Timur. Malam itu aku mencoba menikmati kegelapan dengan duduk sendiri dalam rindangya hutan yang merupakan pintu masuk pendakian ke puncak dengan ketinggian 3.265 mDPL di perbatasan Jateng - Jatim.

Seperti biasanya jika aku melakukan sebuah pendakian, maka aku akan mencoba mengambil moment sendiri seperti ini. Entah saat dalam perjalanan maupun saat istirahat disebuah pos. Dan kali ini aku mencoba menikmatinya di pintu menuju puncak gunung Lawu. Kedatanganku kali ini bukanlah untuk melakukan pendakian, hanya ingin bertemu dan menjemput teman-teman dari Jejak Petualang Community yang melakukan pendakian masal. Tapi kali ini aku menikmati dingin angin diantara batang-batang pohon ditambah rasa gelisah, karena masih hanya sebagian kecil dari team JPers yang turun…. Sebuah status dari wall biruku, sempat kubuat saat menunggu:

    “Dalam lorong gelap rerimbunan menyambut kerlip headlamp kalian. Cepat pulang kawan, sudah sampai kembali di pos Cemoro Kandang “

Sebuah pendakian basah dan singkat, mereka baru mulai start pendakian jam 9 malam kemarin dan 24 jam berikutnya saat aku menanti di tangga-tangga licin ini, mereka sudah harus turun untuk kembali ke Jakarta dan beberapa kota disekitar jawa. Satu pilihan nekat yang mereka ambil. Belum lagi molornya waktu perjalanan dari Jakarta yang hampir 20 jam. Ckckck…. Sejak awal membaca itenerarinya pun aku sudah menebak akan melenceng jauh. Tapi biarlah, toh kali ini aku memilih hanya menjemput mereka. Ini sudah menjadi style-ku dalam menikmati persahabatan ini. tidak harus mengikuti kegiatan mereka, cukup mengantar atau menjemput mereka… atau bahkan hanya mengirimkan suara di sebuah kotak kecil berkedip bernama handpone, itu cukup. Meskipun tidak mengikutinya aku selalu terikat untuk mengikuti perkembangan perjalanan mereka.

Dan malam itu ditemani beberapa teman JPers yang sudah turun, kami membantu teman-teman lain yang susah payah melewati jalanan licin jalur Kandang. Ada Eko Jogja, Uchits, Jiteng, Faries dan Juppy. Beberapa kali kami naik turun membantu teman-teman yang baru turun dan menanyakan kondisi teman-teman yang lain. Sebuah sekenario evakuasi kecil pun diberangkatkan untuk menjemput seorang peserta yang cidera kakinya dipos 2 Taman Sari Atas. Aku tetap menuggu disini, beberapa meter diatas Pendopo. Sampai akhirnya wajah-wajah lusuh kecapean yang mulai aku temui, aku mengenal mereka… jauh lebih mengenal mereka dengan style ini dari pada mengenal mereka pada kehidupan yang mereka jalani sebenarnya. Ada Irda, Bule, Vincent,  Savanaers dan wajah-wajah lain yang belum begitu aku kenal. Tapi kegelisahan ini semakin mengigil, karena belum ada separuh dari jumlah team yang turun. Maka aku mengajak Jiteng untuk naik lebih dalam keatas.

Menunggu cukup lama dan akhirnya menemukan Juppy yang tertatih memapah Ana, Ada Jemmy yang juga sudah kepayahan mengandeng Riri dengan pandangan kosongnya, sangat kecapean kah?. Kuambil alih ceril Jemmy dan membantu Juppy. Ini baru sebagian kecil yang turun, tapi kondisi mereka sungguh sangat drop. Turun di Base Camp dan kemudian mengajak beberapa teman untuk naik kembali, kali ini lebih dalam dan lebih tinggi. Sampai akhirnya berpapasan dengan rombongan yang cukup banyak dari Diana dan Titi. Menunggu diatas dan kemudian turun kebawah kembali, Menunggu koordinasi karena masih banyak yang belum turun. Menjelang pukul 11 sebagian besar sudah turun di Base Camp Cemoro Kandang. Hanya team bang One berlima yang menginfokan bahwa mereka nyasar sampe ke tower, di bukit sebelah barat Hargo Dalem.

Pukul 2 dini hari, team Jakarta turun pulang ke bis mereka di Tawangmangu. Kembali ke Jakarta. Tersisa kami berlima yang akan menunggu 5 teman kami yang tetinggal diatas, yang kemudian menjadi 7 orang setelah diabsen ulang. Ada One, Redi, Dimas, Umar, Ahadi, Ikhwan, dan Heni. Serta saudara Ana, Raimon dan Ekta. Bukan meninggalkan tanggung jawab Panitia, tapi kami mengambil alih untuk tetap menunggu di sini. Mengantikan posisi mereka karena waktu kami masih senggang hingga beberapa hari kedepan.

Setelah semua peserta dan panita pertama turun, aku mulai menerima beberapa SMS dari mereka. Meminta update dan memberikan beberapa komando awal yang harus kuambil besok. Kemudian memasuki sebuah ruangan berukuran 4x5 meter disebelah utara POS Perijinan. Kali ini aku harus rela tidur kedinginan tanpa SB, karena memang tidak membawa dan tidak ada niatan untuk bermalam disini. 3 SB lengkap dengan penghuninya tidur nyenyak disampingku, entah siapa mereka, dan ternyata saat pagi berikutnya baru kuketahui, ada Hero, Vincent dan om Jon Kemon.

Pagi yang mulai sibuk, setidaknya untuk hapeku, bukan untuk kami berenam yang masih kedinginan dikaki gunung Lawu ini. dari teman-teman di Jakarta mulai menanyakan kabar yang sama tentang 7 sahabat kami yang tertinggal di atas. Aku yang tidak masuk dalam team pendakian ini pun tidak dapat memberikan gambaran jelas tentang kondisi teman2 yang tertinggal. Bang Boim, Bang Ori, Tante Nha, mengawali mengabsen hapeku pagi itu, menanyakan hal yang sama. Agak siang semakin banyak yang menanyakan. Bukan hanya dari Jakarta tapi dari seputaran Jogja, solo. Ada Mas Aji, Pak Kus Cartens, dan Mbah Jarody… dan masih banyak lainya. SMS pun sampe capek jembol ini membalasnya.  Bahkan mungkin ada yang tertinggal. (Maaf!)

Titik terang mulai ada. Ternyata 7 team yang tertinggal itu terbagi dalam 2 kelompok kecil, Si Ikhwan dan Heny ternyata menginap di warung mbok Yem, sedangkan team One berlima memang tersesat dan harus dijemput team SAR (detailnya silahkan baca Kronologi SAR JFH II di web Jpers..). Setelah semua jelas, dan tinggal menunggu team yang tertinggal turun. Rencanaku untuk pulang ke Surabaya sore ini ternyata harus diundur besok pagi. Karena sudah tidak ada angkutan L300 yang turun ke Plaosan kemudian melanjutkan lewat Magetan.

 

-Kamar 13-


Dan malam kedua di Cemoro Kandang ini kami semakin banyak, setelah ditambah team Ikhwan yang turun berlima, dengan Raimon dan Heni serta 2 orang temanya. Bersesakan kami di kamar itu, tapi cukup hangat.

“Mas, yang tidur dikamar 13 ada berapa orang” Tanya mas Eka, seorang team SAR AGL (Anak Gunung Lawu) yang baru aku kenal tadi siang, saat koordinasi SAR untuk menjemput One.
“ada 11 mas, ditambah 5 yang baru turun sore tadi” jawabku.
“kalo nggak cukup bisa di Mushola sebelahnya” mas Eka kembali menawarkan kepadaku.

Saat itu aku sedang bebincang denganya didepan pos perijinan, meskipun udara dingin tapi aku lebih memilih menikmati bintang yang lebih terang karena langit bersih tak berawan, dan sejak siang tidak ada hujan yang turun, berbeda dengan kemarin yang seharian diguyur hujan. Hanya beberapa kali kabut tebal menyapa dan menutup pandanganku. Malam yang cerah.

“Aku masuk dulu mas, pengin kenalan dengan yang lain” mas Eka berpamitan masuk ke kamar di sebelah pos ini.

Akupun mengikutinya dari belakang, satu dua cerita dimulai dengan kehangatan kopi. Dan asap rokok mulai memenuhi ruangan kecil itu, aku lebih memilih duduk disebelah pintu demi menemukan udara yang segar, meskipun dingin. Dimulai dengan perkenalan singkat dari kami masing-masing, lanjut ke cerita-cerita seputar Lawu dan akhinya aku menanyakan sebuah pertanyaan, yang menurutku adalah pertanyaan salah yang tidak seharusnya aku tanyakan.

“Mas Eka, kamar 13 itu apa, ko namanya 13… kan Cuma ada satu kamar?” dengan polos aku bertanya.

Dan sebuah jawaban singkat membuka jawaban panjang lainya tentang SAR LAWU. “ini kamar Evakuasi Mayat. Jadi setiap ada korban yang dibawa turun selalu dimasukan ke sini, dari pada dibiarkan diluar. Sudah puluhan mayat dengan berbagai kondisi yang masuk dan disemayamkan sejenak disini”

Benarkan!! Sebuah pertanyaan yang salah, yang awalnya kami ber haha hihi, akhirnya harus lebih merapatkan tempat duduk kami.

Kamar ini tidak terlalu luas, hanya berukuran sekitar 4x5 meter, dengan 2 jendela tanpa gorden dan sebuah pintu panjang. Ditembok sebelah utara dilukis dengan sebuah lingkaran berwana merah orange dan sebuah siluet biru gunung Lawu. Nama AGL membentuk setengah lingkaran diatasnya. Sedangkan disisi selatan berupa coretan coretan siluet seorang climber yang sedang bergelatungan di tebing, sebuah papan tulis bertuliskan nomer chanel frekuensi Handy Talky. Ada juga 2 buah tandu, 1 ditidurkan dan satunya berdiri bersandar. Hanya beralaskan tikar dan sebuah matras aluminium foil, pantas saja aku semalam kedinginan tidur disini. Apalagi aku hanya bermodalkan sarung, sarung yang selalu setia menemani perjalananku.

Disebelah barat ruangan ini adalah sebuah tumpukan berwana biru, aku dan bang Jon hanya berbisik menebak tumpukan seperti karpet itu, “Kantong mayat”. Tembok penuh dengan bercak cat merah seperti darah, dan beberapa celana Jeans lusuh dan robek robek tergantung disana. Menambah suram suasana kamar itu, apalagi penerangan yang hanya sebuah lampu pijar. Remang remang…. Sedangkan disudut selatan nya aku menemukan gulungan karpet yang di ikat, ahh… makin mirip bayangan manusia saja :(. Saat pembicaraan tentang SAR dimulai, aku sudah duduk diatas tumpukan biru itu bersama bang Jhon disisi barat. Duduk dalam keremangan sambil menebak apa yang sebenarnya sedang kami duduki ini…

Dan sebuah cahaya terang diatas sana, Pendopo, sangat menarik perhatianku dan bang Jon. Terlihat beberapa kali bang Jon dan aku terpaku pada cahaya diatas sana, ada apa? Entahlah.. cahaya disana sungguh tepat berhadapan dengan kami bedua, sehingga mau tak mau harus sering memperhatikanya. Diselingi cerita seram, saat dua sahabat mas Eka dari SAR AGL yang ikut nimbrung dengan kami, tentang cerita cerita SAR, penunggu-penunggu ghaib disetiap pos.. (yang sebaiknya tidak perlu saya hapalkan untuk menjadi bahan tulisan ini), cara membaca jejak korban, bahkan cara membaca sifat alam menurut ilmu yang mereka pelajari secara alamiah, dan tentunya ujung-ujung dari team pencarian SAR itu adalah ditemukanya mayat yang akan dibawa turun dan di istirahatkan sejenak di kamar ini… Kamar 13… atau lebih jelasnya Bangsal 13.

Dan malam itupun aku tak banyak bergerak, tidak lagi berani duduk sendiri di tengah gelapnya malam dalam rerimbunan hutan diatas pendopo Cemoro Kandang seperti malam sebelumnya. Tidak juga keluar sekedar menikmati dingin dan bintang yang malam itu lebih terang. Memilih meluruskan punggung dan merapatkan sarung dinginku ini….

 

*ada yang punya foto kamar 13?

 
-hans-
www.trihans.com 

Selasa, 02 November 2010

sebuah "Middle Earth" di Lawu...



Hujan disertai badai kecil menemani langkah kami yang tertatih menuruni jalanan ini. Pagi tadi kami merangkak menaiki batuan hitam  yang beberapa diantaranya tertata bagai tangga tangga yang tumbuh dari dalam tanah. Sebagian diantaranya kokoh seperti pintu gerbang menyambut kami yang melewatinya diketinggian 3000 meter diatas permukaan laut ini, dan kini kami harus kembali meuruni jalan ini untuk melangkah pulang setelah sesaat mengunjungi puncak Hargo Dumilah. “Naik dan turun lagi, huh!”. Tak ada lagi vegetasi rapat yang kami temui, lebih banyak rumpun edelweis dan bunga-bunga cantiqi merah yang tumbuh bergerombol dilereng terjal di sisi kiri, sedangkan sisi kanan adalah lereng jurang landai dalam. Tidak terlalu terjal tapi cukup membuat ngeri jika terperosok.
 
Badai tanpa penghalang menerpa kami yang hanya dibalut mantel tipis, cukup kepayahan melewati jalanan terbuka yang sedikit melingkar ini. Tetatih kami dalam langkah-langkah keci,l takut terpeleset karena licinya batuan juga karena beban berat dipunggung yang semakin berat. Ditambah masa air yang tanpa ijin merembes dalam tas punggung kami. Hanya ada aku dan wahyu, seorang teman dari Surabaya yang beriringan tanpa suara menikmati badai ini, sedangkan beberapa teman lain satu rombongan denganku tertinggal dibelakang. Bukanya tak mau menunggu, tapi kami terus tetap melangkah turun sampai di pos Cokro Srengenge nanti.
 
Angin bercampur derasnya air hujan, menemani setiap langkah untuk lebih hati-hati, apalagi tubuh ini telah letih sejak kemarin pagi melangkahkan kaki di puncak ketinggian perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini. Dingin yang menusuk tulang, menggertakan gigi-gigi kami yang bertumpu saat kedinginan. Jarak pandang terhalang air-air yang jatuh tidak lagi vertical kebawah, tapi miring kesegala arah sesuka angin kencang yang membawanya. Sungguh berbeda saat aku pertama kali melihat lembah panjang diatas ketinggian ini tadi pagi, terik yang terus mengawasi sejak dari pos Penggik, ditambah jalanan yang terjal tanpa ampun. Hingga akhirnya selepas dari sebuah belokan berbatu aku menemukannya.
 
“Middle Earth…” gumamku sambil sesekali membidik jalanan berkelok dan berakhir dengan jalan setapak panjang didepanku ini. Sejak kemarin pagi, dari pos Cemoro Kadang kami hanya disuguhi tanjakan terjal yang dibuat zig-zag dan membosankan, baru kali ini menemukan sebuah hamparan luas meskipun berada dikemiringan. Cukup memuaskan pandangan mata dan mengobati keletihan tubuh ini saat naik kemarin juga di hantam badai hingga harus istirahat di pos Penggik. Pendakian Januari 2007 bersamaan dengan 1 Suro. Saat kami tertatih dengan beban dipundak, beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang berbaju hitam yang medaki hanya menggunakan kain tipis, sendal jepit dan sebungkus bekal dalam tas keresek hitam.... dan kami sama-sama kedinginan dalam badai.... wow!!

 
vidoe:  http://www.youtube.com/watch?v=zNlggi9tjZ8     
pic: http://kohan2282.multiply.com/photos/album/8/Pendakian_Lawu
 
 
Pendakian Lawu, 1 Suro,Januari 2007
Hans-Wahyu-Pramono-Arif-Ari.... dan satu teman baru dari Pekalongan : Heri