Sabtu, 20 Maret 2010

Motion By Design

http://www.motionbydesign.net/blog/

...pengin mendalami grafis lewat intenet.. :)

Senin, 15 Maret 2010

Mengamati bangunan candi maupun cerita sejarah yang ditinggalkan benda-benda mati adalah sebuah keunikan yang menarik minatku. Disana aku merasakan sebuah kalimat yang sering diucapkan tante nha “..feel the word unspoken..”. Ya.. kata atau kalimat tak akan mampu menceritakan masa-masa yang telah dilewati oleh batuan berlief atau naskah-naskah kuno yang tersimpan di candi maupun di museum .... | Catper Dieng |

House Of Sampoerna bareng tante Suesan




HOS, With Tante Susan dan Hafidz ponakanya...

Pagi tadi dapet SMS dari mbakyu Susan, dia minta dianter ke HOS.... dan akhirnya aku janjiin siang hari kesananya, sekalian sorenya aku langsung masuk kerja. Diawali dengan mengelilingi Surabaya utara yang panas.. sampe juga di Surabaya Coretnya mba Susan, entah kenapa padahal sudah berkali-kali kesana masih aja diawali dengan sedikit gangguan jin, alias nyasar ke gang yang tidak seharusnya. Padalah dalam sejarah kehidupanku, aku ini orang yang sangat apal dengan jalan, gampang memetakan lokasi dengan mudah.... ee ke daerah yang namanya Platuk ini aku selalu tersesat. Bahkan setiap mau kesanapun aku merasa ada yang aneh.... mesti nyasar!!

Yang paling parah pernah nuntun motor masuk gang gang kecil yang panjaaaang. Kali ini nggak parah, hanya satu blok lebih cepat mengambil tikungan kekanan untung aja tembusnya masih dijalan yang sama.... :D

bersama tante Susan dan ponakanya yang ribut terus ngubek ubek ikan KOI di HOS.. aku memilih memainkan SE G502 ku, yang ternyata tidak bisa diajak kompromi untuk cahaya yang kurang, dan semua foto yg kuapload ini aku rezise dulu, biar nggak begitu pecah.. maklum mimpi jadi fotografernya baru kesampean jadi tukang foto kamera HP....haha...strata terendah fotografer. :">

Selamat menikmati, monggoh kalo ada yang mau dianter ke HOS....
Surabaya Panassss.... tapi ada aku pasti dingin...
 
;)

-hans-
muka jadi gosong kena panas Surabaya :(

Minggu, 14 Maret 2010

Mengunjungi Bumi Tengah - Dataran Tinggi Dieng

Dieng-Wonosobo, 26-27 Februari 2010



Beberapa bulan ini aku terfokus dengan satu permainan yang cukup menyita waktu dan konsentrasi, Desain. Kebetulan 2 bulan ini ada beberapa event yang meminta bantuanku untuk menyiapkan media publikasinya. Dalam mendisain suatu image tidak hanya saat didepan kompi saja aku memikirkanya, bahkan saat tidurpun merasakan mimpi-mimpi imajinasi itu. Senang rasanya saat otak ini terus digerayangi ribuan ide-ide kecil. Ada yang mampu kuvisualisasikan menjadi sebuah karya ada juga yang hanya menjadi angan-agan terlupakan. Seperti halnya minat menulis ini, aku seperti tak punya kekuatan untuk sekedar memainkan jariku menata huruf-huruf menjadi sebuah rangkaian kalimat yang akan mengantarkan dan merangkum kisahku kemarin.

Kali ini aku ingin menuliskan catatan perjalananku ke sebuah dataran tinggi di tengah-tengah Jawa Tengah. Aku senang menyebutnya dengan nama dataran Bumi Tengah, seperti  Midle Earth dikisah Lord Of The Ring, Sebuah dataran bumi yang dihuni oleh manusia, hobbit dan bangsa peri dari kaum elf. Disana ada beberapa kerajaan Manusia yang dipenuhi dengan menara-menara tinggi. Kaum Elf pun terkagum-kagum atas usaha manusia menciptakan bangunan mengah itu. Padahal usia manusia sangat singkat dibandingkan bangsa peri yang abadi. Tapi dengan singkatnya usia manusia mereka bisa menciptakan peradaban indah dan melewati sebuah fase hidup yang cepat serta lebih menakjubkan dibandingkan bangsa peri yang ribuan taun menghuni satu lembah.

Bukan tentang Kisah LOTR yang ditulis oleh JRR Tolkien selama 10 tahun (1935-1945) ini yang ingin kubahas. Tapi tentang Dataran Tinggi Dieng dikaki gunung Sindoro. Akhir Februari kemarin aku mengunjunginya bersama dengan peserta rombongan yang cukup banyak dari Merbabuers dan JPers, mereka ingin mengunjungi peninggalan sejarah di Bumi Tengah sebelum esoknya melakukan pendakian ke Gunung Sumbing di sisi Tenggara dataran tinggi ini yang juga tidak terlalu jauh dari rumahku di Gombong.

Baru dua bulan kemarin aku mudik, kali ini sudah mudik lagi, satu hal yang jarang aku lakukan. Biasanya aku cukup pantas untuk menyandang status anak durhaka. Pulang ke rumah lebih jarang dari pada jalan-jalan bersama teman. Kali ini ada dua alasan aku pulang. Petama mengantarkan komputer DELL yang sudah 4 tahun ini menemaniku yang akan dipakai oleh mba’ku di Purworejo dan yang kedua adalah mbarengi team Sumbing yang akan mengunjungi Dieng. Alasan yang tepat hingga aku harus mudik juga. Toh hanya 2 jam naik motor dari rumah orang tuaku untuk mencapai ke Wonosobo. Dan sebelumnya Desember kemarinpun aku mudik dengan alasan yang sama, ikut pendakian ke gunung Slamet. Intinya tetep ada unsur jalan-jalannya...yah sambil menyelam minum sirup lah :D

 

Wonosobo

Menyusuri jalanan aspal sempit berliku dibatasi oleh sungai berbatu yang tenang dan diapit punggungan bukit pinus yang masih cukup rapat di utara Waduk Sempor. Meliuk-liukan Jupiter Z-ku dijalan tembus antara Gombong-Banjarnegara ini cukup menyemangatiku yang pagi ini akan menemui sahabat-sabahat yang selama ini lebih sering ketemu secara online. Dimana kami lebih sering bercengkerama dimilis Jejak Petualang Community dan milis Merbabu.com. dan beberapa diataranya hanya sering sapa di Wall FB maupun di Blog MPku.

Jam 9 pagi intruksi dari Sekar Laras, team leader dari Jakarta. Team akan berkumpul di pertigaan depan RSUD Wonosobo sebelum melanjutkan ke Dieng. 2 jam waktu tempuhku dari Gombong setelah melewati jalanan yang cukup sepi karena hari libur dan aku pun tidak terlalu memacu motorku dengan kecepatan penuh, hanya beberapa kali ngebut sambil menikmati dinginnya angin pagi dari lembah-lembah sepanjang Mandiraja-Wonosobo. Ternyata Sekar mengabarkan kalo team dari Jakarta akan sedikit terlambat dan menyuruhku untuk menunggu di Pom Bensin Sapen. Karena masih terlalu pagi aku memilih untuk sekedar masuk ke pasar Wonosobo, mencarikan teh Tambi pesanan Ibuku dan menikmati keramaian pasar, tapi karena hari libur banyak penjual yang memilih tutup. Hanya 3 kilo rambutan yang aku tawar dan beli untuk oleh-oleh di Dieng nanti, akupun mengalihkan jiwa explorku ke Alun-alun Wonosobo, sambil berharap menemukan sesuatu untuk mengenyangkan perut ini.

Semangkuk Soto Sapi aku nikmati disebelah utara alun-alun sambil melihat pasukan drum band yang sedang berlatih. Jadi inget jaman SMP dulu, Drum band SMP-ku “Gita Manohara” sempet ikut mengisi upacara penurunan bendera Parade Senja di Istana Negara Jogja. Setelah kenyang dan membungkus 10 gorengan yang akhirnya aku jadikan bahan status untuk wall sibiru. Aku memilih menunggu di pinggiran perempatan, kemudian pindah ke Pom Bensin sambil membaca buku yang entah enggak niat atau aku malas membacanya. Padahal sangat suka dan tertarik dengan ceritanya. ISILDUR prequel to LOTR, yang sudah 3 bulan in aku baca, dan dalam waktu 3 bulan itu aku sempat menyelesaikan beberapa buku lain. Tapi buku dengan tebal 700 halaman itu baru kubaca sekitar 380an halaman. Ya… lagi-lagi aku menemukannya disela-sela waktu menjadi teman perjalananku.

Sekitar pukul 11, team dari Jakarta terlihat sibuk menurunkan tas-tas Ceril besar dari Bus antar kota jurusan Purwokerto-Semarang. Aku hanya melihat dari seberang jalan sambil mempersiapkan motorku. Dan Sekar menginfokan team langsung melanjutkan perjalanan ke Dieng, aku hanya mengikuti dari belakang setelah sempat menculik Irda untuk mengisi boncengan motorku untuk menemaniku sepanjang perjalanan Wonosobo Dieng.


Dieng Plateau

Kembali meliukan kuda besi satu pabrikan dengan tungganganya Valentino Rossi diantara sawah dan ladang sayuran sepanjang perjalanan ke Dieng, yang beberapa bukitnya sudah mulai longsor. Sungguh ironis, saat manusia menggantungkan hidup dengan menanam sayuran diladang-ladang itu tapi tanpa satupun pohon besar sebagai penopang tanahnya, maka longsoran tanah di beberapa sisi siap mengancam rumah-rumah yang mereka bangun dibawahnya. Inikah etika dalam memanfaatkan kesuburan tanah, tapi lupa atas keselamatan dan kelestarian alamnya. Tak jarang aku mendengar daerah disekitar sana yang kena longsor. Dan kali ini aku melihatnya…ya hanya melihatnya tanpa tau apa yang harus kuperbuat. Menjalani hidup dikomunitas adventurer pun aku tak mampu berbuat dan banyak berbicara soal konservasi. Hanya ikut berhaha-hihi diantara mereka. Menggerus kepercayaan orang tua atau kepercayaan sang pacar bahwa kita lebih menuruti egoisme dan ekslusifitas komunitas atau lebih mencintai puncak-puncak tertinggi disuatu lembah. Tanya kenapa?

Memasuki komplek Dieng, aku seperti baru berjalan ribuan mil dan tiba-tiba melewati semak tinggi yang menutupi pandangan. Saat semua mulai terbuka dari semak itu seperti menemukan sebuah kehidupan lain dari kerajaan Manusia di Bumi Tengah yang penuh menara tinggi menusuk langit menghiasi awan. Sesuatu yang menakjubkan, membawaku kembali kemasa-masa kerajaan. Orang –orang kecil membangun candi-candi dari bongkahan batu. Menumpuknya dan mengukirnya kemudian menimbun pondasi-pondasi tahapan bawah candi untuk diisi dengan tanah. Mengangkat batu lagi dan mengukirnya lagi diatasnya kemudian menimbun lagi dengan tanah sampai trap tahta tertinggi candi. Dan setelah candi selesai mereka menggali kembali tanah yang menutupi candi-candi itu. Seperti membuka sebuah mahkota kebesaran, megah. Itulah teknik yang mereka gunakan untuk membangun candi. Karena jaman itu belum ada forklift maupun menara pancang untuk mengangkat batu.

Sungguh bijaksana kehidupan mereka. Menciptakan satu bangunan yang diselesaikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka tapi juga kebutuhan anak cucunya, bahkan mungkin candi-candi yang mereka bangun juga melewati beberapa generasi didalamnya. Mereka bekerja tanpa memikirkan akankah mereka manikmati bangunan itu. Itulah keindahan kehidupan yang mereka wariskan yang sampai saat ini masih dengan gagah berdiri di beberapa tempat di tanah jawa dan juga tersebar di belahan bumi lain.

***

Dataran Tinggi Dieng secara Administratif berada dalam wilayah kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo dengan ketinggan sekitar 2088 mDPL dan bersuhu rata-rata 13-17 derajat Celcius. Meskipun sebagian besar wilayah Dieng masuk ke kabupaten Banjarnegara namun jalur akses lebih mudah dari Wonosobo. Disisi utara Dieng dibatasi oleh kabupaten Pekalongan dan Batang. Dataran Tinggi Dieng dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah dengan beberapa master plan pengembangan objek wisata disana.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucutnya terdiri dari Bisma, Seroja, Binem, Pangonan Merdada, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil. Kunir dan Prambanan. Serta beberapa kawah yang terjadi akibat erupsi larva yang menyisakan Lapangan fumarola terdiri atas Kawah Sikidang, kawah Kumbang, kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah Sileri.

 

Telaga Warna, Dieng Teather, Candi Bima, Kawah Sikidang

Pada kesempatan ini team hanya sempat mengunjungi 4 objek saja, selain karena waktu yang sempit juga karena hujan yang memaksa semua rombongan untuk segera meninggalkan Dieng kembali menuju Wonosobo. Diawali dengan sholat jumat di Masjid terbesar disana. Setelah sholat jumat di masjid Jami Baiturrohman Dieng, barulah aku berkesempatan menyalami satu persatu dari team ini. Tak banyak yang aku kenal hanya beberapa yang pernah ikut trip bareng atau teman chating ditengah malam.

Objek pertama yang kami kunjungi adalah Telaga Warna, dengan sebelumnya membayar tiket terusan seharga 12ribu. Aku kira dengan tiket itu sudah bisa menikmati semua lokasi, ternyata untuk masuk ke Telaga Warna saja masih harus menambah iuran Rp 2000 per orangnya. Telaga Warna, tak ada yang aneh dan menarik menurutku, hanya telaga belerang dengan sisi-sisinya merupakan tanah bukit dan rumpun semak biasa, tidak seperti Kawah Putih yang dilengkapi dengan batuan dan pasir sulfur putih yang menambah cantik tempat itu.

Tidak terlalu lama memandangi Danau yang berwarna hijau ini atau biasa juga disebut Telaga Pengilon (pengilon = cermin, jawa). Team berpindah ke Dieng Plateau Theater, disini kami disuguhi film singkat berjudul “The Gods Abode” berdurasi sekitar 15 menit. Yang mengisahkan sejarah dan budaya tentang Dieng Plateau. Dimana beberapa Kawahnya masih mengeluarkan gas bermasa berat Karbondioksida yang pernah minggalkan kisah tragis dengan korban 149 penduduk Dieng. Salah satunya dari Kawah Sinila yang sekarang digunakan untuk Pembangakit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Cukup banyak informasi yang kami dapat disini, dengan ruangan yang cukup untuk menampung sekitar 75 pengunjung.


..Feel The Word Unspoken…

Berpindah ke bangunan peninggalan kerajaan Jawa Kuno, Kerajaan Kallinga dari dinasti Sanjaya. Hanya satu candi yang sempat kami kunjungi. Candi Bima, candi-candi disini diberi nama dengan tokoh Pandawa dalam cerita pewayangan Mahabarata. Dilokasi lain juga ada komplek Candi Arjuno dengan beberapa candi berdiri disana. Mengamati bangunan candi maupun cerita sejarah yang ditinggalkan benda-benda mati adalah sebuah keunikan yang menarik minatku. Disana aku merasakan sebuah kalimat yang sering diucapkan tante nha “..feel the word unspoken..”. Ya.. kata atau kalimat tak akan mampu menceritakan masa-masa yang telah dilewati oleh batuan berlief atau naskah-naskah kuno yang tersimpan di candi maupun di museum. Sebuah rasa takjub saat kita membayangkan dimasa itu orang sudah mampu menciptakan benda semegah candi. Tapi sayang di Candi Bima aku tidak menemukan cerita dalam relief, hanya beberapa ukiran disudut-sudut candi yang menyerupai stupa.

Semakin sore serta gerimis kecil menemani kunjungan berikutnya ke Kawah Sikidang, dengan view mirip pegunungan Papandayan, batuan Sulfur putih dan orange mendominasi disana. Seperti sebuah kuali besar dengan dibatasi batang bambu, air kawah yang mendidih dan kepulan asap belerang dari kawah Sikidang. Bernarsis dengan berbagai gaya mengakhiri kunjungan kami ke Dieng Plateau. Sejujurnya aku pengin banget mengunjungi Komplek candi Arjuna. Tapi hujan memaksa kami untuk turun ke Wonosobo.

Hujan deras sepanjang perjalanan turun, tanpa ada yang mau menemaniku kedinginan dan basah diatas motorku…

 

Wonosobo lagi dengan sahabat lama..

Magriban di Masjid Jami selatan alun-alun Wonosobo, kemudian seluruh team menyebar kesekitar lapangan rumput dengan beberapa pohon beringin mengelilinginya untuk mengisi menu makan malam. Aku mengajak Irda untuk makan Mie Ongklok, tapi sayang warung yang jualan di jl. Ronggolowe sudah tutup, akhirnya malah Vita Bule yang menemaniku mencari Mie Ongklok di kaki lima selatan Rita Wonosobo. Terasa cukup nikmat karena beberapa kali antrian dilupakan oleh penjualnya. Dan akhirnya harus dikembali lagi ke masjid, karena team akan melanjutkan meninginap di Kertek, dirumah temannya Sekar.

Team berpindah dari Alun-alun ke pertigaan Kertek, Irda dan seorang temanya berpamitan, karena malam itu dia akan mendaki ke Sindoro bersama Cobus. Ya.. kali ini Cobus dari team Biru Deuter meninggalkan Benno dan Vincent yang akan mendaki ke Sumbing. Aku masih sendirian mengendari motorku melewati jalan depan PKU Kertek. Cukup kenal dengan rumah sakit itu yang sekarang sudah semakin besar, disanalah ponakanku, cucu pertama dikeluargaku dilahirkan, karena mba'ku pernah dinas disana.

Masih menunggu Hero yang ternyata ditemani kang Tovic, serta pengantin baru Dadank dan Lala. Mereka mengabarkan baru melewati Secang Magelang. Tapi ternyata tidak terlalu lama mereka mucul. Ada juga Geby, bule dari Ceko yang pernah satu team saat mendaki ke Slamet. Setelah lengkap, team akan menginap dirumah temanya Sekar, Ita, diselatan pasar Kertek. Ternyata ada ikatan almamater antara aku dan Ita. Ita adalah teman satu angkatan Sekar di StemaTEL, sedangkan aku adalah kakak angakatan mereka. Dan ada satu lagi, kakak kandung Ita juga alumni yang sama di Purwokerto. Byuh!! reuni kecil..

Malam yang hangat dikota yang dingin. Sekar memulai perkenalan diantara seluruh team, karena banyak diantara kami yang belum saling kenal. Ada sekitar 50an pendaki yang besok akan mendaki ke Sumbing. Dan Malam itu dilanjutkan dengan Packing ulang diantara mereka kedalam keril-keril besarnya.

 

Pendakian Jalur Bowongso

Sejak semalam antrian panjang dikamar mandi sudah dimulai. Dilanjutkan dengan kesibukan awal pagi menyambut hari pendakian. Aku masih tak banyak ikut ribut. Karena rencanaku pagi ini setelah mengantarkan team sampai di start pendakian aku akan melanjutkan pulang kerumah Gombong. Tidak ikut mendaki, sudah sejak pendakian ke Merapi yang penuh egoismeku itu minat mendakiku jauh berkurang. Mendaki ke Slamet diakhir tahun kemarinpun aku tidak secara emosional mempersiapkan pendakian itu, bahkan hanya diakhir waktu aku menyiapkanya.  Ada banyak perlajaran berharga yang aku temui dari sebuah arti pendakian, dan masih banyak yang belum aku ketahui juga. Dan menggapai puncak gunung adalah bonus dari sebuah perjalanan.

Setelah melewati jalur menanjak berbatu dengan jalan aspal yang sudah rusak. Menembus masuk ke tempat tertinggi di desa Bowongso, pendakian pun dimulai dari sana. Mereka memanggul tas-tas besar dan menyimpan mimpi-mimpi itu 5cm dikening mereka… (haha.. jadi inget buku 5cm). Bercakap dengan ibu-ibu yang masih belum familiar dengan tas besar pendaki mereka bercerita bahwa jalur ini masih belum banyak dilalui, bahkan pemuda didesa itu pun hanya beberapa yang pernah mendaki sampe puncak.

“Mas nek munggah nduwur kono, pokoke gulo jowo ojo nganti ra nggowo”(mas kalo mau mendaki, pokoknya jangan lupa bawa gula kelapa).

Pulang…

Melepas mereka menggapai rerumputan hijau dan terjalnya jalur Bowongso, aku hanya berharap itu akan menjadi satu kisah menarik perjalanan mereka, seperti satu hari yang kulalui ini. Puncak Sumbing, saat aku masih SD, dipembatas sawah desaku, gunung itu selalu nampak disisi timur jauh… membayangi munculnya mentari pagi bersama gunung Sindoro dan baying Merapi dibelakang mereka. Aku sudah sedekat ini tapi puncak itu belum memanggilku.

Kembali memasuki pasar Wonosobo dengan suara teplak teplok dari sandal gunungku yang putus talinya. Tak kutemukan teh Tambi pesenan ibuku. Berpindah kepusat jajanan Wonosobo dan minggalkan kota dingin itu. Sebelum memasuki Banjarnegara aku belokan stang motorku ini memasuki sebuah camp. Serayu River Camp. Tanpa ada yang menyapa hanya beberapa pekerja yang sibuk pembagunan fisik, aku menikmati sejenak derasnya aliran sungai Serayu, yang panjang mengalir melewati beberapa kabupaten hingga berujung di Pantai Selatan.

Dan akhirnya, segelas segarnya Dawet Ayu Banjarnegara menemani keringnya tenggorkanku, hinggu pulang kembali kerumah…

 

Thanks to:

-Alloh SWT, untuk keindahan dan kedamaian di Bumi Tengah.

-Teman-teman dari Merbabuers.com dan JPers.

- Sekar Laras, Team Leader…salut deh bisa membawa team segitu besarnya.

-Ita dan keluarga untuk keramahan dan kehangatan semalam dirumahmu.

 

-hans-

Menggapai puncak gunung adalah bonus dalam sebuah perlajanan yang kujalani…

 

Senin, 08 Maret 2010

JUST Travellers @ Weekend

Start:     May 1, '10 10:00a
End:     May 2, '10 9:00p
Location:     Gedung Joang 45, Jl Menteng Raya no. 31 - Jakarta Pusat





Alam Indonesia, siapa yang berani menyangkal keindahan negeri tercinta ini? Keindahan Indonesia, sudah sangat mendunia. Alamnya sangat eksotik, budayanya pun unik. Begitu besarnya wilayah Indonesia dengan potensi wisata berlimpah, membuat masih begitu banyak tempat yang amat sangat menarik yang tidak terjangkau dan tidak dikenal oleh para penikmat wisata.


Kurangnya promosi juga menjadi salah satu kendala bergaungnya surga-surga tersembunyi ini.

Beruntunglah, masih banyak penggiat wisata yang memuaskan kedahagaan jiwa petualang dan kerinduannya untuk selalu melebur dalam pesona alam Indonesia dengan melakukan perjalanan-perjalanan wisata, baik hanya melangkah seorang diri ataupun membentuk kelompok teman seperjalanan yang mempunyai rasa serupa.

Dengan maksud memberi inspirasi dan berbagi cerita kepada yang lainnya tentang keragaman tempat wisata di Indonesia yang tiada habis dan pastinya tidak kalah indahnya dengan tempat wisata di luar negeri, digagaslah acara ini. Acara berkumpulnya para penggiat dan penikmat perjalanan wisata di akhir minggu dalam suasana penuh keakraban dan kekeluargaan.

Digagas oleh para miliser dari milis traveler dan pencinta kegiatan wisata yang ditampung dalam wadah Vidyakara Indonesia yang merupakan kumpulan dari penggiat dan penikmat wisata, yang kemudian merangkul teman-teman, komunitas-komunitas, perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan kegiatan perjalanan dan kegiatan wisata, untuk bersama menggelar kegiatan yang diberi nama "JUST" (Jelajah Untuk Surga Tersembunyi) - Travellers @ Weekend..!



untuk informasi hubungi :
Rera - 085723194759

JUST Trvellers@weekend

Site : www.justravellers.com
Email : info@justravellers.com






Sabtu, 06 Maret 2010

Midle Earth - Dieng 26022010




Wonosobo, 26-27 Feb 2010


Dieng,
berkumpul dan bercengkrama bersama sahabat jauh adalah sebuah kebahagiaan yang selalu dirindukan, apalagi saat hampir sebagian besar kehidupanku sebagai seorang perantau berada disana, disebuah komunitas online. kali ini mereka akan mengunjungi tanah dingin yang tidak jauh dari rumahku, masih disekitar Jawa Tengah. kalo Desember kemarin aku berkesempatan menyambut dan bermain bersam di Gunung Slamet. Kali ini mereka akan berjalan-jalan ke Dieng dilanjutkan mendaki Gunung Sumbing lewat jalur baru di Bowongso.

Hanya 2 jam yang kutempuh untuk sampai di Wonosobo, dari Gombong dengan menaiki Jupiter Z. jam 9 pagi, ternyata masih kepagian dan harus menunggu team dari Jakarta sampai pukul 11 siang menjelang Jumatan. Aku sempatkan untuk mengisi perut dengan Soto Sapi di alun-alun Wonosobo dan mencari Teh Tambi di Pasar Wonosobo. Sampai di pom Bensin Sapen  team langsung melanjutkan perjalanan ke Dieng. Aku masih mengikuti dari belakang, tapi tidak sendiri lagi. Ada Irda diboncengan Jupiterku.

Sampai di Dieng, menikmati beberapa objek dan dipaksa turun karena hujan yang semakin lebat. Diwonosobo kami dijamu disebuah Rumah diselatan Kertek. Rumah temanya Sekar, yang ternyata juga rumah 2 Adik kelasku di StemaTEL.

Pagi, aku hanya mengantarkan team Merbabuers dan Jpers ini sampai di desa tertinggi, Dijalan setapak berbatu di Sisi Barat Sumbing. Desa Bowongso.... kembali melanjutkan pulang dengan sandal gunung yang hampit putus.. teplak teplok jadi pusat perhatian di pasar Wonosobo, karena sandalnya nggak mau diem.... mengunjungi SERAYU River Camp dan segelas Dawet Ayu Banjarnegara.

2 Jam kemudian sampe di Gombong lagi, setelah sempat nekat, melewati jalan desa yang dulu saat masih kecil sering aku lalui, tapi hampir terlupa setelah puluhan tahun tidak melewatinya.....

Catper akan ditulis menyusul.. mengunjungi Midle Earth..Dieng..

-hans-

*foto diambil dari HP mungilku SE G502