Jumat, 01 Juli 2011

Imigran Sibuk membelai Ibu Kota

7 bulan lalu aku membulatkan tekad untuk meninggalkan kota panas yang sudah hampir 10 tahun ini kutinggali, Surabaya. Waktu 10 tahun tersebut tentunya cukup mengenalkanku dengan seluk beluk kota yang terkenal dengan pisuhannya itu. Menjelajahi gang-gang kecilnya hingga ke beberapa kota di sekitarnya. Tak ada saudara disana, tapi pergaulan dan persahabatanku mengantarkan pada persahabatan erat yang aku awali dari dunia maya, dunia milis. Dari situlah aku menemukan teman-teman yang selalu menemaniku bahkan terbawa hingga kini di Jakarta.

 

Ketakutan petama sebelum memilih Jakarta adalah, butuh berapa lama aku akan menghapalkan kota terbesar di negeri ini. Kayaknya tak cukup setahun untuk berani jalan sendiri ke sebuah tempat yang belum pernah kusinggahi.  Apalagi diluar sana Jakarta terkenal dengan macet dan kehidupanya yang tak kenal kompromi bagi mereka yang lemah. Takut… tentu saja, saya hanyalah pendatang dan baru beberapa kali menginjakan kaki disana. Hanya monas dan sekitarnya yang aku kenal sisanya adalah gap gelap seperti area perang di game Red Alert sebelum kita membeli Spy Satelit.. hm…

 

Sambutan macet dari Jakarta mampu aku terima dengan lapang dada, karena memang sudah resiko yang harus dihadapi jika memilih Jakarta sebagai tujuan hidupnya. Ya tentu saja mampu kuhadapi karena aku tak perlu bermacet ria menggunakan kendaraan umum dijalanan yang katanya lebih banyak jumlah kendaraan dari pada panjang jalan-nya. Karena aku memilih tinggal di tempat kos yang tidak jauh dari kantor utamaku, hm… jadi urusan macet Jakarta sudah diatasi meskipun harus menyewa tempat kos yang apabila aku masih tinggal di Surabaya bisa untuk membayar selama tiga bulan, mahal.

 

Petualangan dimulai,

 

 

Minggu kedua di Jakarta aku sudah berani mengendari motor sendiri ke Depok, kerumah tante Nha yang rumahnya di ujung Depok coret. Pengalaman sekali kerumahnya di tengah malam ternyata tak membuatku bingung dengan jalan lurus sepanjang Pancoran – Margonda. Dan tentunya Navigasi Feeling yang sudah tertanam di hampir setiap indifidu asli Jawa. Lor-Kidul, Utara Selatan Barat Timur, adalah kompas hidup yang hampir 90% ku akui keakuratanya. Pernah sekali aku ke Makassar dan Manado, saat pertama kaki ini berpijak di tanah Sulawesi, saat itu pula mampu kutunjukan arah Barat dengan benar. Tak bisa dinalar dengan akal, karena itu merupakan kebiasan kami di kampung, disana kami terbiasa membedakan ruangan dengan templete arah, contohnya: sentong lor (Kamar Utara), sentong kidul (Kamar Selatan), Kulon umah (Halaman Barat), atau wetan pager (Timurnya pagar). Itulah kebiasaan kami mengenal arah, sudah tradisi dan hingga kinipun aku bisa merasakan feel arah kiblat itu dimana.

 

Dengan bekal arah itulah aku berani menjelajahi Jakarta, meskipun baru bagiku dan tentunya malah lebih sering mendengar menyesatkan bagi orang Jakarta sendiri yang tak kenal arah. Bulan pertama di Jakarta sebuah event kecil kubuat, kali ini mengunjungi makam Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti, di Jakarta Pusat. Lagi-lagi navigasi arah yang ku berikan ke rekan-rekan Jakarta cukup membuat mereka tersesat, hahahah…. padahal letaknya ditengah kota Jakarta dengan patokan Sebelah Barat Monas. Malah ada yang sampe nyasar di halte Gambir ...behh!

 

Okelah, event pertama menemani imigran sibuk sukses mengumpul 20 kawan, dan hanya di dihadiri 4 cowok kesepian, sisanya adalah kaum cantik yang tentunya semakin memperindah aura kusam kuburan-kuburan di Museum Taman Prasasti. Event selanjutnya adalah JPers ON Seven, kembali bermain bersama warga @jepecom, memperingati 7  tahun kebersamaan di milis Jejak Petualang Community. Ide kecil yang kami mulai di Pasfest akhirnya mendapat sambutan dari JPers dan dari JP crew. Maka event di Ranca Upas digelar dengan bonus doorprise dari sponsor dan kado istimewa liputan di acara Jejak Petualang trans|7.

 

 

Hampir setiap minggu aku menikmati Jakarta bersama kawan-kawan. Bukan jalan-jalan mahal yang kujalani, tapi menimati Jakarta dengan murah. hanya modal untuk transportasi umum dan tiket masuk kesebuah lokasi wisata kota yang masih berkisar di HTM 10.000,-. Coba perhatikan, bagi teman-teman yang berkecimpung di dunia EO tentunya sangat memahami hal ini. Sepertinya semua orang Jakarta butuh hiburan. Apapun event yang diadakan selalu dipadati dan laris manis. Lihat saja Car Free Day di Sudirman, selalu dipadati warga Jakarta dari berbagai penjuru. Macetnya mobil setiap hari digantikan oleh kemacetan manusia. Beberapa kali aku membantu temen yang punya EO dan mengadakan tripnya di Jawa Timur, hm.. sudah dipastikan 80% pesertanya adalah warga Jakarta. Bagi mereka mungkin uang bukan lagi jadi masalah untuk menikmati sebuah kebebasan.

 

Sepertinya terjadi sebuah simbiosis Mutualisme disini, dimana aku sebagai pendatang butuh mengenal ibu kota lebih jauh, dan warga ibu kota butuh hiburan murah yang bisa dijadikan alternative selain harus membuang duit di mol-mol Metropolitan. Event-event kecil yang kurencanakan tak membutuhkan persiapan khusus, hanya dengan membuat flyer dan disebar di wall FB, atau hanya sekedar ajakan Imigran sibuk minta ditemani kesuatu tempat di status FB ataupun di milis. Seperti halnya acara jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan, hanya kuposting di status FBku, kemudian ada sekitar 7 kawan yang menemaniku mengelilingi hutan kecil di Ragunan, tak hanya berkeliling selama 4 jam, tapi juga menyempatkan untuk mengunjungi penangkaran binatang di tempat kang Maman.

 

 

Selanjutnya adalah event dengan peserta terbanyak yang kubuat selama 3 bulan jadi warga baru Jakarta, rencana Kunjungan ke 8 Museum di Kota Tua tapi karena beberapa hal akhinya meninggalkan 3 lokasi diantarnya. Dengan start di Taman Beos, kemudian diawali mengunjungi Museum Mandiri, Musium Bank Indonesia, Musium Fatahilah, Musium Wayang, Musium Seni Rupa, Jembatan Kota Intan kemudian berjalan ke utara sampai di Musium Bahari. Tujuan ke Sunda Kelapa ditangguhkan karena hujan deras. Disini lebih dari 50 kawan warga Jakarta yang mengikutiku melangkahkan kaki disekitar kota tua Jakarta. Hm.. pendatang baru mengguide warga ibu Kota.

 

Masih berlanjut, aku menemukan sebuah warung mendoan di Benhil tanpa sengaja. Tapi dari ketidaksengajaan itu kini tempat mendoan itu selalu menjadi Jujugan JPers yang sedang berkunjung di Benhil. Hampir seminggu sekali aku menjamu mereka disana, Mendoan adalah makanan khas dari banyumas, tak jauh dari rumah tinggalku di Gombong. Dengan ditemani teh poci dan gula batunya tentu semakin mantap menikmatinya dipinggir jalan. Dan dari Mendoan itulah kemudian lahir ide-ide kecil, salah satunya kunjungan ke TMII bersama lima kawan. Salah satunya adalah kang mas Wiwid yang sedang keluar hutan Kutai mengunjungi Jakarta. Berlima seharian mengelilingi TMII, dengan berbekal full makanan yang dimasak khusus oleh Mira, jadilah wisata keluarga kami menyantap makanan itu, hm.. yummy,

 

 

Menikmati musium adalah alternative yang kupilih untuk menemani jiwa ngelayap yang entah sejak kapan aku mulai. Ya kenapa museum, karena disana banyak informasi berharga dan tentunya banyak barang-barang unik yang mengandung banyak nilai sejarah. Tujuan  berikutnya adalah Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto. Koleksi keprajuritan yang lengkap sejak jaman kemerdekaan hingga setelahnya. Koleksi peralatan perang yang ada pun cukup lengkap, dari hanya bambu runcing, senapan, hingga pesawat terbang dan kendaraan perang. Tempatnya yang luas sangat tepat untuk mengadakan sebuah event, semoga pengelola museum mau membuka diri dengan memberikan tempat untuk komunitas yang ingin mengadakan acara, karena tentu nilai ganda akan didapatkan oleh pihak museium, selain publikasi juga informasi yang ditersebar pengunjung.

 

Jakarta sedikit ke selatan, ada sebuah tempat yang menarik minatku, Masjid Kubah Emas di Depok. Aku belum pernah kesana sebelumnya, dengan bantuan Google Map di hape kecilku akhirnya mengantarkan kesana. Gagal dikesempatan pertaman dan baru pada kesempatan kedua bisa memasuki masjid yang sangat megah itu, kubahnya yang berwarna emas itu ternyata memang tebuat dari emas, wow!. Ditemani Vina, Joe, Neni dan Opay, jadilah sore itu aku menjadi juragan minyak urut yang ditemani salesnya… :p hahaha. Bangunan megah khas timur tengah dengan ornament menakjubkan didalamnya. Kubah Emas bisa saja menjadi Masjid Termegah di Asia karena bahan pembuatanya yang memang terbuat dari batu marmer dan emas. Semoga kemegahan masjid itu juga membawa manfaat yang besar bagi pembuat dan tentunya bagi umat.

 

 

Hm… tak terasa akhir bulan ke 7 aku jalani di Jakarta, dan bulan depan adalah bulan ke delapan jadi warga Jakarta. Sepertinya tak butuh waktu lama lagi untuk mengenal Jakarta, jalanan macet yang semakin aku nikmati. Nongkrong dari satu Pemaran ke pameran lainya bersama kawan-kawan. Persahabatan dibawah papan pasfest yang hampir setiap malam minggu ku kunjungi tapi tak pernah merasa bosen. Dan tentunya kawan-kawan yang selalu menemani Imigran Sibuk ini menikmati Jakarta dengan apa adanya tanpa harus mengeluh….

 

 

Selamat ulang tahun Jakarta ke 484….

 

 

 

-hans-

www.trihans.com

Perak Isle, menghuni pulau tak berpenghuni...



Menyeberangi lautan, kali ini aku tidak lagi menjadi Frodo yang dengan riang bermain di hutan rumput yang menghampar sejauh mata memandang di Shire dan tak ada lagi kembang api dari si penyihir abu abu, Gandalf. Bukan lagi menjadi seorang Hobbit, tapi ingin menjadi seorang Peter Pan…. Taukah kalian siapa Peter Pan itu? Dia adalah tokoh anak petualang jahil yang menjadi pahlawan bagi teman-temanya, dia bisa terbang karena ditaburi butiran Kristal oleh sang peri, peri kecil cantik bernama Thinker Bell… yang selalu memarahi Peter karena kejahilanya menggoda Kapten Hook yang jahat.

Bening gemericing seperti bunyi lonceng, ah bukan! ia tidak berbunyi tapi berkilau selaksa butiran mutiara yang terhampar seluas lautan, ya luas sekali. Dari ujung satu ke ujung lainnya tak mampu kutangkap dalam satu pandangan mata. Aku dimana! Terombang-ambing ditengah kubangan besar. Yang tak aku kenali dan pahami penghuninya. Setelah beberapa saat meninggalkan dermaga Muara Angke dan terpaksa harus mendekam digeladak karena takut diturunkan paksa oleh Polisi Laut, seperti sebelumnya aku menaiki kapal tanpa pelampung, dan akhirnya harus menjadi sebagian dari penumpang yang diturunkan karena tak memakai pengaman itu.

“Ini di lautan, tak ada manusia yang bisa bertahan hidup dilaut… mau mati kamu” Itulah terikan-teriakan yang hampir seperti makian mengingatkan kami bahwa nyawa kami tak ada artinya jika terombang-ambing dilautan tanpa pelampung. Sayang, aku bukanlah seorang Peter Pan yang dapat terbang sambil membawa oleh-oleh mangga busuk untuk dilempar ke wajah Kapten Hook. Hanyalah seorang penumpang kapal yang baru pertama kali ini berada ditengah lautan yang seperti tanpa ujung ini, arghhh!! Terlalu luas menurutku!.

Inilah trip pertamaku ke laut, setelah sebelumnya lebih banyak mengunjungi menara-menara tinggi dinegeri Minas Ithilen, menggapai puncak-puncak dunia yang berupa gundukan melelahkan, Gunung. Jauh lebih sejuk dari pada terik yang kurasakan di geladak depan ini, duduk menantang angin sambil menikmati kapal-kapal lain yang juga berlalu-lalang, meskipun tanpa marka tapi sepertinya mereka mengikuti arus laut yang tentunya telah dipelajari sejak nenek moyang kita sebagai masyarakat bahari di Negara kelautan ini.


Tujuan kami liburan kali ini adalah Pulau tak berpenghuni, sejauh 5 jam perjalanan laut dari Jakarta. Pulau Perak, entah dimana itu…. Di dalam peta maupun Google Map yang terinstal di hapeku pun aku tak mampu menemukannya. Padahal dengan aplikasi itu selalu sukses menemaniku menjelajah beberapa kota yang belum pernah kudatangi sebelumnya, tapi kali ini hanya pasrah pada nahkoda. Terlalu kecil mungkin, diantara ribuan pulau yang ada di gugusan Kepulauan Seribu. Untuk menuju ke Pulau Perak bisa ditempuh dengan transit sekali di Pulau Harapan. Tapi karena sempat diturun paksakan oleh Polisi Laut akhirnya beberapa diantara kami harus transit beberapa kali di Pulau Tidung, Pulau Pramuka kemudian menaiki kapal kecil menuju Pulau Kelapa dan sampailah diPulau Harapan. Selain waktu yang 2 jam lebih lama juga harus berkeliling diantara selat-selat kecil yang memisahkan pulau-pulau itu, tak apalah ini trip ku pertamaku di sini dan memang harus mengenal lebih banyak nama-nama pulau disini.

5 Jam yang melelahkan, terombang ambing di Laut Jawa. Hanya satu BAB dari Buku Peter Pan and the Shadow Thieves yang mampu kuselesaikan, sisanya adalah mencoba terpejam dengan tubuh seperti dihentak kenakan dan kekiri, kejamnya ombak ini… Argh!, sepertinya aku gagal mimpi menjadi Peter Pan, bagaimana mau mengalahkan Kapten Hook kalo naik kapal kecil saja aku terdiam disudut geladak. Hmmm mungkin lebih pantas menjadi Kapten Jack Sparrow, meskipun hanya memakai rakit kecil dengan ditemani Rum dan Kompas dia bisa menjadi seorang Kapten. Memimpikan Black Pearl, hehee…


Lanjut ah, takut kalo sampe kaka rangga ngomong “kemonceren sampeyan mas!”. Tak usah mimpi jadi Peter Pan atau jadi Kapten Jack Sparrow yang akan segera tayang sequelnya. Mending jadi penumpang kapal biasa sambil memainkan pancing diburitan bersama teman teman lain yang sepertinya juga mulai bosan menikmati birunya laut, 5 jam dikapal dan 5 jam itu pula yang diliat cuma air laut. Hanya sesekali membidikan mata lensa 18-55 SAM ini menangkap landscape dan atol-atol yang tiba-tiba membirukan lautan menjadi lebih muda. Atau menangkap objek seorang nelayan yang sedang mengais rejeki dari lautan.

Dan jam 2 siang itu, akhirnya kapal kecil yang kami naiki dari Pulau Pramuka mendamparkan kami sebuah pulau dengan nama Pulau Kelapa, dengan melanjutkan langkah menuju pulau disebelahnya yang sudah dihubungkan dengan jalan darat. Sampailah di Pulau Harapan, istirahat sebentar dan maksi dirumah Pak Haji, jujugan kami yang tergabung dalam trip besutan dari Brownies Adventure. Disana kami bergabung dengan rombongan besar yang sebelumnya terpisah di Muara Angke. Tak lama di Pulau Harapan itu kami lanjutkan dengan dua kapal kecil menuju Pulau Perak, naik kapal lagi….beeeeeeh!!

Masih satu jam lagi menuju Pulau Perak, Rasanya semakin jauh dari daratan, atau kalimat putus asa-nya… semakin jauh dari kehidupan. Nahkoda kapal kecil yang ku tumpangi memainkan tugasnya dengan dibantu seorang navigator, tak dibutuhkan alat canggih cukup sang navigator melambaikan tanganya untuk menghindari ranjau laut (baca: sampah). Sang Nahkoda pun harus sigap membaca pesan itu kalau tak mau baling-balingnya tersangkut harta karun yang ternyata meskipun lautan itu luaaaas, tapi banyak juga sampah didalamnya L.


Hampir jam 3, akhirnya sampailah rombongan yang terdiri lebih dari tiga puluh peserta ini menginjakan kaki di Pulau Perak. Hanya sebentar menurunkan barang bawaan, dan leader kami kaka Rangga Dive menginstruksikan untuk menuju ke Spot Snorkeling pertama. Hm… belum pernah saya berenang dilautan seluas ini. Dan kali ini dengan sebuah pelampung langsung terjun kedalamnya. Memakai masker dan snorkel yang terasa aneh, nafas yang bingung antara mulut dan hidung, dan tentunya air laut yang terlalu asin, ya sangat terlalu sekali asinnya…. Harus dengan rela menelanya beberapa teguk. Huek! Bukanya keindahan laut yang kutemukan sore itu, tapi rasa asin dimana-mana, sepertinya saya menyerah di tengah lautan, masih lebih rela berpeluh ditengah hutan dan tanjakan dari pada harus menelan air kuah yang kebanyakan garam ini.

Tak lama di spot pertama, dan kembali ke Pulau Perak karena hari semakin sore, ternyata setelah di sampai di Pulau Perak, aku lebih takjub disini, coral biru yang menghampar mengelilingi pulau ini, sepertinya tak perlu jauh jauh mencari biota laut cukup menyelam disekitar pulau sudah menemukanya. Ditemani Om Timmy sebagai master dive yang menurunkan ilmunya pada ketiga muridnya yaitu, aku, Vina dan Joe. Sore itu tak jauh dari dermaga pulau sang suhu menurunkan ilmu dasar snorkeling. Bagaimana mengigit snorkel yang benar, hahaha… benar saja kenapa tadi bukanya bernafas dengan nyaman malah airnya masuk ke mulut semua, ternyata hanya digigit sedikit pada ujungnya sedangkan tadi aku menggigit semua snorkel masuk ke dalam mulut… hohoho *malu.

Setelah benar cara bernafas dan menggunakan masker, tips selanjutnya adalah berenang tanpa pelampung. Hm.. beranikah? sepertinya tidak. Dasar laut yang tak mampu kutembus dasarnya dan bulu babi yang sepertinya banyak dimana-mana. Hm.. sang master memang terkenal sebagai penipu yang baik hati, dengan sedikit rayuan maut akhirnya aku melepaskan pelampung meskipun sesekali berenang kearah pelampung dan akhirnya… bisa menikmati laut tanpa pelampung. Assssiiknyaaa… setelah 2 pelajaran utama itu, aku berani berkeliling disekitar pantai. Melihat lihat biota laut yang sungguh menakjubkan. Ikan-ikan warna warni yang selama ini hanya aku liat di DiveMag, dan kali ini aku bermain denganya. Seperti bermain petak umpet, aku datang mereka masuk ke dalam terumbu karang dan aku pergi dia melirik keluar. Hohoho… dikira monster laut kali… Menakjubkan kehidupan didalam air sana. Ada terumbu karang yang melebar seperti meja, ada kerang-kerang yang bulat, dan banyak ikan ikan kecil… ahhh, besok harus turun lagi.

Pulau ini tidak telalu luas, bahkan aku bisa melihat sela-sela cahaya diantara pepohonan diseputar pulau, mungkin 2x lapangan bola saja, atu malah kurang. Dan hanya ada satu sumber air disana, bukan air tawar tapi air payau. Tak baik diminum hanya bisa digunakan untuk membilas tubuh sehabis berenang di air laut. Pulau tak berpenghuni ini sebenarnya bukan juga pulau kosong, setiap akhir pekan selalu ada penunggunya yang mematok retrubusi untuk pengungjung yang ingin bermalam atau mandi disini. Karena tak ada rumah penduduk apalagi cottage, jika ingin bermalam disini harus membawa tenda. Seperti yang kami lakukan malam ini. Tenda tenda yang sudah disiapkan oleh Brownies Adventure siap menjadi tempat bermalam kami… Sepertinya aku lebih tertarik untuk tidur diluar beratapkan seribu bintang dan beralaskan ponco yang kubawa.

Sepeti biasa, kegiatan malam ini akan terasa sangat menyenangkan, bermain bersama sahabat-sahabat yang sebagian besar adalah wajah baru yang belum kukenal, dan diantaranya adalah 4L yang selalu menemani kisah perjalananku sebelumnya. Menyeduh mie kuah dan membuat kopi didepan tenda, inilah kehangatan alam yang selalu kurindukan. Perkenalan dimulai, doorpres dibagi, dan kemudian berbaur kembali dengan alam, menikmati dermaga kecil ini. Hampir sempurna menjadi Peter Pan, hanya perlu butiran butiran Kristal dari kantung peri yang sebenarnya adalah peri pekerja itu. Ingin rasanya menggapai ribuan bintang dilangit, kemudian melemparkan salah satunya sehingga membentuk bintang jatuh… dan tentunya aku bisa menyebutkan satu permitaan dari setiap bitang yang kulempar.. hehe.


Perkiraan yang salah sejak awal. Tenda yang kami dirikan ternyata berada ditempat yang tidak seharusnya. Air pasang memaksa kami memindahkanya, bukan cuma sekali sampai akhirnya semua tenda naik ke sela sela pepohonan… hehehe, untung aku tak berada didalam tenda, hanya cukup menarik ponco yang kujadikan alas pasir ini. Ditemani om timun, bercerita kecil menemani malam dingin dengan angin laut yang cukup kuat. Dan akhirnya tak ada suara diantara kami, dan terlelap beralaskan pasir putih..

Pagi beranjak disambut sunrise tak terlalu indah, tapi air laut biru muda dan coral-coral yang kemarin kusapa lebih menarik minatku. Melanjutkan training didalam air bersama om Timun, kali ini air laut lebih jernih dengan visibility yang lebih baik. Kedalam laut 6-10 meter dapat dilihat dengan baik. Semakin banyak ikan ikan kecil yang unik dikedalaman sana. Berbagai bentuk terumbu karang juga menakjubkan untuk dinikmati. Sungguh dunia bawah air yang sebenarnya ada dihadapanku. Segerombol anemone menjadi tempat bermain nemo si ikan badut. Ingin rasanya menyelam lebih dalam, tapi ternyata aku belum menguasai teknik menyelam. Susah rasanya membawa tubuh ini tenggelam. Hanya beberapa jengkal kemudian mengapung lagi. Dan ternyata ketakutanku kemarin sebelum mengenal laut memang tak beralasan. Kalau menyelam saja susah, bagaimana mau tenggelam. Jadi intinya selagi masih ada udara di dalam tubuh kita, kita tidak akan tenggelam, asalkan tidak panik. Yayaya.. alasan yang masuk akal dari master saya pagi itu.

Arus kuat membawaku menjauh dari dermaga, cukup jauh hingga terasa sangat capek untuk kembali berenang ke dermaga. Ternyata beberapa diantara kami pun tak sadar telah terbawa arus laut. Hingga kaka Rangga menginstruksikan kepada kami untuk menyudahi permainan di air karena harus segara packing dan kembali Ke Jakarta. Jam 12 kami harus sudah berada di Pulau Harapan, karena satu-satunya kapal akan berangkat mengembalikan kami ke Jakarta, dan jangan sampai terlambat atau menunggu keesokan harinya.

Hamparan laut itu telah memberikan sedikit cahaya surganya dikedalaman sana, tak apalah kali ini aku menikmatinya bersama Peter Pan dan Thinker Bell serta mimpi-mimpi gila Perompak Karibian, bermimpi menjadi anak jahil yang tak kehabisan akal untuk terus bermain di pulau kecil yang tak pernah membuatnya bertambah umur sedikitpun. Sepertinya esok hari kulit ini akan menjadi gosong setelah dua hari berjemur dalam terik dan asinya air laut. Dan kapal Dolphin yang membawa kami dari Pulau Harapan yang berair biru jernih telah mengantarkan sampai kembali ke Muara Angke yang airnya hitan kelam.

Aahhh… Pulau Perak, kini hatiku dihuni oleh penghuni pulau tak berpenghuni itu…. –Permata-

Thanks to:
Brownies Adventure: Rangga, Juppy, Jiteng, Faries, Reddy
Pasukan 4L: Om Timmun, Om Jaka, Henny, Joe, Agvina, Wawan and the gank
Dan kawan baru yang telah menemani menghuni pulau tak berpenguni..

 -hans-
www.trihans.com



Caving Goa Kali - Gombong, petualangan terdekat dari rumahku…

 

Pegunungan selatan, saat aku kecil mengenalnya sebagai batas pandangan mata terjauh di sisi barat dari tempat aku dilahirkan. Pegunungan kapur yang membujur dari pantai selatan hingga keutara bertemu dengan perbukitan Serayu. Di sisi selatan ada tempat yang cukup terkenal, Pantai Karang  Bolong namanya, sebuah fenomena yang diakibatkan dari Batu karang yang terkikis oleh Delta Sungai dan deburan ombak Pantai Selatan pada kedua sisinya, menyebabkan barang itu berlubang tembus ke dua sisinya. Diatas perbukitan itu, tepat diatas karang-karang tajam yang setiap saat dihantam ombak terdapat Goa yang dihuni oleh ribuan burung lawet. Burung itulah yang kemudian menjadi symbol dari logo Kabupaten Kebumen.

 

Kali ini tidak jauh dari Goa Karang Bolong, sekitar 4km dari pantai selatan. Kami mencoba menjelajah kedalam perut bumi, Goa Kali namanya. Berada di Desa Rejodadi kecamatan Buayan. Memang Pegunungan Selatan ini merupakan pegunungan yang didominasi oleh batuan kapur dan memiliki banyak Goa, ada sekitar 243 goa. Sebelumnya aku hanya mengenal Goa Petruk, Goa Karang Bolong dan Goa Jatijajar yang memang sudah di kelola oleh pemerintah daerah Kab Kebumen menjadi objek wisata. Dan tidak jauh dari Goa Kali juga terdapat beberapa Goa lainya, seperti Goa Simbar. Kali ini kami hanya berkesempatan memasuki satu lorong panjang yang dihuni oleh kelelawar dan air mengalir sepanjang lorong goa.

 

 

Tidak lebih dari 30 menit waktu yang ku tempuh untuk menemui kawan-kawan JPers yang sebenarnya sudah biasa aku temui di Jakarta. Dan sekarang aku menemui mereka tidak jauh dari rumah keluargaku di Gombong. Kebetulan aku mengambil cuti pertamaku sejak 6 bulan menjadi warga Jakarta. Dari informasi sebelumnya mereka akan mencoba menelusuri Goa Petruk, tapi mereka malah memintaku untuk menemui mereka di depan Polsek Buayan. Faries, Begundal Wahyou, Dimas, Ipui datang langsung dari Jakarta. Hero datang langsung dari Surabaya yang sebelumnya menjemput Cempluk dan kang Arif YKT di Purworejo. Maka kali ini Gombong menjadi tempat berkumpulnya beberapa JPers 4L.

 

Lama menunggu akhirnya datang juga, Guide yang kami tunggu, mas Yos yang berdomisili di sekitar Goa Petruk, dengan dua orang temannya yang datang langsung dari Bandung. Mas Heri dan mas Unu. Kami saling berkenalan kemudian menuju ke Desa Rejodadi. Menyusuri jalan kecamatan yang berujung di Pantai Selatan ini, sudah banyak berlobang di beberapa bagian. Tidak jauh dari pertigaan Kecamatan Buayan kemudian berbelok ke arah barat. Melewati kolam renang yang ternyata air kolamnya diambil langsung dari dalam Goa Kali yang akan kami jelajahi nanti.

 

Sebuah rumah tembok, tepat dibawah tanjakan curam. Hero, Dimas, dan Wahyu yang berboncengan bertiga mencoba melewati tanjakan itu, tapi Nihil, yang terjadi malah Dimas terjatuh dengan luka gores di dengkulnya, belum lagi si Hero yang kepayahan karena motor yang mereka naiki akhirnya pun mundur melewati turunan. Korban pertama …Gas Pol rem Blong… Mas Yos, Pak Heri dan mas Unu terlihat sibuk mempersiapkan peralatan untuk Caving nanti. Mereka terlihat cukup professional, meskipun hanya Hobby, mereka melengkapi peralatan untuk keselamatan diri. Tali Kermantel, Karabiner, Vigur 8, Harnes, Wearpark dan tentunya beberapa Helm yang mereka bawa untuk melindungi kepala. Aku tidak membawa banyak peralatan. Kebetulan hanya membawa headlamp, drybag dan beberapa peralatan standar yang selalu kubawa saat melakukan perjalanan jauh.

 

 

Petualangan pun dimulai

 

 

Pukul 11 lewat, setelah mempersiapkan diri dan melengkapi dengan senter kami memulai penjelajahan ini. Tanjakan curam kami awali hingga dua pertiga ketinggian bukit didaki, kemudian berbelok ke kanan memasuki ladang jati milik warga. Beberapa warga kami temui sedang mencari kayu bakar. Dari ladang Jati itu mas Yos mencoba mencari celah goa yang merupakan pintu masuk, seperti tertutup semak-semak… tapi ternyata salah dan harus kembali mendaki dengan memutari ereng-ereng bukit kemudian kami mendengar air terjun yang cukup deras, bukan dari atas tapi dari dalam pintu goa yang menjorok ke bawah. Dan air itu terjun bebas ke lobang yang entah dimana ujungnya… Itulah pintu Goa Kali yang kami jelajahi. Dengan batuan Kapur dan Karts yang tajam, serta sebuah lorong gelap menyambut kami.

 

Masing-masing mempersiapkan diri, hero membantuku mebawakan ceril 35 liter yang tidak berisi penuh dan hanya berisi makanan. Sedangkan aku hanya membawa drybag yang berisi kamera. Wahyu dan Dimas sibuk mengambil gambar dari Handycam. Mas Yos dan Pak Heri mencoba memasuki memeriksa mulut goa yang akan kami Jelajahi…. Dan Semua berkumpul dipintu, kemudian bedoa demi keselamatan bersama… “JPers Caving… Gooo!!!” setelah berdoa kami menyerukan yel yel penyemangat dan… Penjelajah Goa Kali dimulai.

 

 

Mas Yos dan Pak Heri menjadi leader team yang berjumlah 11 orang ini, sedangkan JPers yang lainnya berjalan beriringian melewati celah panjang yang gelap ini. Air sepanjang jalan kami lalui seperti menyusuri selokan dengan berbagai kedalaman. Mulai dari yang hanya sedalam betis sampe setinggi dada orang dewasa pun kami temui. Ornamen Goa dengan Stalagatit dan Stalagmit banyak kami temui didalamnya. Sebagian diantaranya terlihat masih tumbuh dengan warna yang lebih cerah. Mirip seperti adonan roti yang lumer… ahhh… cantiknya goa ini.

 

 

Bukan Sendal, tapi Sepatu!!

 

Srak…!! Faris yang berjalan didepanku melambatkan langkahnya. Ternyata sandal gunung yang ia kenakan putus talinya. Maka sepanjang jalan sampai tempat istirahat dia harus merangkak, karena batuan yang kami pijak bukanlah batuan rata, tapi didominasi oleh karts tajam yang menyakitkan jika di injak tanpa alas kaki, tak jarang kulit kaki dan tangan kami pun harus rela tergores saat menyentuh permukaan runcing batuan itu. Dan kali ini sedikit pelajaran berharga kami temui disini… Sandal Gunung bukanlah peralatan yang aman untuk menjelajah atau beraktifitas di alam. Sandal hanya digunakan untuk aktifitas santai saat kita sudah sampai di base camp. Sedangkan Sepatu adalah suatu keharusan untuk melindungi kaki kita dalam beraktifitas di alam. Kaki adalah sangat vital, sekuat apapun tubuh seorang petualang kalo kakinya cidera maka dia tidak akan dapat menikmati dan menjalani petualanganya dengan maskimal… Dan sepetinya tak ada alasan untuk tidak memperhatikan savety dalam berpetualang apalagi bangga hanya dengan menggunakan pertalatan seadanya bisa menyelesaikan sebuah petuaalangan… karena mungkin saja saat itu kita hanya sedang beruntung. Apa jadinya kalo kita tidak beruntung?

 

 

 

Air terjun didalam Goa

 

Hampir satu Jam perjalanan, terdengar air deras di kedalaman goa. Lorong yang berkelok-kelok dan arus deras yang terus menggerus batuan disini menimbulkan suara yang cukup deras. Beberapa jeram pun kami temui dan harus dilewati dengan hati-hati. Tapi kali ini suara itu sangat keras dan ternyata setelah beberapa kelokan kami lalui, sebuah air terjun dengan ketinggian sekitar 5meter menghadang langkah kami. Beberapa gambar diambil dari kamera underwater yang dibawa mas Unu, aku belum berani mengeluarkan kameraku. Selain takut basah juga karena didepan air terjun ini ketinggain airnya sedada orang dewasa.

 

 

Harus merangkak untuk menembus air terjun itu karena tak ada jalan lain yang bisa kami lewati selain melewati celah kecil yang ada diantara arus air tersebut. Disisi kanan aliran air terjun itu ada celah dengan batuan runcing yang diakibatkan oleh arus air. Kami merangkak dan mendaki batuan itu. Kemudian sampai di tengah air terjun harus beralih ke sisi sebelah kiri, kerena memang disanalah jalan yang harus kami capai, cukup kepayahan menerjang air terjun itu, sampai akhirnya satu-persatu dari kami melewatinya.

 

Sedikit menanjak di batuan licin, kembali melewati lorong yang terasa semakin luas dengan bau Khas kotoran Kelelawar…. Hmmm…. seperti sebuah hall tinggi dengan banyak ornament menakjubkan yang belum pernah kuliat. Kelelawar terbang diantaranya berpindah pindah dari satu lubang ke lubang lainnya, bergelantungan  seolah  menunjukan diri bahwa merekalah yang berkuasa disini… Dan cahaya senter yang kami sorotkan tentu saja menganggu ketenangan mereka di kedalaman bumi ini.

 

 

 

Dive Mag didalam Goa

 

Sambil lalu memperhatikan anak anak kelelawar yang memilih mendiami lubang kecil diatap-atap goa, terus melangkah entah sampai berapa lama lagi. Karena tak satupun dari kami pernah memasuki goa ini. Disebuah tempat yang cukup luas untuk beristitahat, kami memulih untuk menikmati perbekalan yang kami bawa. Sudah satu jam berlalu dari sejak kami meninggalkan rumah dimana kami menitipkan kendaraan dan barang-barang lainya. Roti sisa resepsi dan lanting yang kubawa dari rumah cukup memenuhi perut kami meskipun tidak kenyang, tapi cukup untuk menambah stamina hingga ujung Goa nanti. Saat mencari perbekalan lain inilah kutemukan majalah Dive Mag didalam cerilku. Huaa.. majalah kecil ini memang selalu menemaniku dalam perjalanan jika pergi kesuatu tempat. Selain kecil dan ringkas juga isi informasi didalamnya sangat menarik, apalagi foto-foto underwater dan landscape nya wooooooowww!!. Dan meskipun basah, bisa juga dijadikan objek foto untuk kusampaikan nanti kepada juragan Dive Mag di Jakarta.

 

 

Tak lama kami bersitirahat, karena baju dan sekujur tubuh yang basah, sehingga tidak nyaman untuk diam dan semakin terasa dingin. Maka kami terus melangkah menyusuri lorong ini. Ada yang semakin menanjak dengan arus air yang semakin deras, ada juga yang landai dengan  arus tenang. Disini peribahasa “air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan” benar-benar kami perhatikan. Dimana airnya beriak dan deras makan dasar sungai sudah hampir pasti mampu kami pijak, meskipun dengan kedalaman yang berfariasi, ada yang hanya setinggi betis sampe diatas pusar. Tapi jika airnya tenang, tentunya kami akan lebih berhati-hati bisa-bisa jebakan betmen menanti dibawah sana…. Dan tiba-tiba tubuh kita tenggelam karena dasarnya tak mampu kami pijak… byur!!! Semakin dingin dan semakin panjang lorong gelap ini kami Jelajahi.

 

Beberapa stalagmite dan stalagtit menjadi objek yang menarik perhatian kami, dari yang hanya lancip seperti pasak yang menembus atap gua, ada juga yang berbentuk seperti payung dengan air yang mengalir disisinya. Hm… berfoto dan narsis bergantian hukumnya sah disini. Air bening yang mengalir diantara batuan itu pun menggugah niatku untuk sekedar meneguknya beberapa kali. Terasa lebih segar dari pada air tanah yang biasa kutemui di gunung.

 

 

Semakin lama, lorong yang kami lalui semakin sempit, dengan air yang tentunya semakin deras, sampai akhirnya langkah kami terhenti pada sebuah kubangan kecil berdiameter sekitar 7 meter. Disinilah langkah kami terhenti. Setelah mas Yos, Pak Heri dan Hero mencoba meneruskan ternyata tak ada lorong yang mampu kami tembus tanpa peralatan selam. Hmmm Cave Diving… sepertinya tak mampu kami lakukan untuk meneruskan menembus goa ini. Akhirnya setelah 3 jam perjalanan dan jam menunjukan pukul 14:15 kami beristirahat di kedalaman itu. Seandainya kami memiliki perlatanan selam lengkap seperti di film SANCTUM tentunya penjelajanan ini akan menemukan ujungnya.

 

Dengan sedikit kecewa karena harus balik kucing, kami kembali menyusuri lorong yang yang tadi kami lewati. Arus deras semakin terasa mendorong kami untuk lebih cepat keluar. Tapi juga terasa lebih menyakitkan karena mau tak mau arus itu pula lah yang kadang menjebak langkah kami untuk terperosok kedalam lubang dalam yang tak mampu kami lihat di bawah air. Kaki kaki kami seperti bermata, meraba dan menjejak pada batuan yang kami anggap kuat… atau terjatuh dan terpelanting didalam air jika kami salah langkah dalam memilih pijakan.

 

Itulah variasi yang kami pilih dalam menikmati penjelajahan ini. 5 jam kami memasuki lobang gelap dalam perut bumi di pegunugan Selatan Gombong. Ini adalah petualangan terdekat dari rumahku sejak aku menemukan sebuah kehidupan menakjubkan dari setiap petualangan yang kujalani. Goa Kali, hanya berjarak sekitar 15km dari tempat tinggalku di Gombong dan hanya sekitar 5km dari tempat dimana aku dilahirkan. Dan inilah tempat petualangan terdekat dari rumahku…

 

-Hans-

www.trihans.com

Penjelajahan Goa Kali - Gombong, 15 mei 2011