Senin, 13 Februari 2012

Senja Jingga...

 

Tiga Jam lamanya dan kemudian seperti terlepas dari siksaan itu, rasanya seperti menemukan kehidupan baru. Pyuh…!! Setelah melewati tanjakan berbatu yang terjal di antara semak dan ilalang, beberapa kali berjalan melipir memutari jurang dalam yang terbuka. Nyali ini begitu diuji, adrenalin-adrenalin seperti mengalir memompa jantung ini lebih cepat. Hampir putus rasanya. Perbelakan yang ku packing rapi dipunggung ini pun semakin tak nyaman. Backpack dengan airsystem yang katanya mampu mengurangi rasa berat, nyatanya terasa semakin berat saja. Belum lagi tanjakan dan turunan yang entah berapa puluh kali kulalui. Inikah yang kucari? Melepaskan kepenatan diri dari sesaknya mimpi-mimpi di ibukota?

 

Ayak-ayak, memang mantap melewati jalur yang berlabel merah ini. Kendati sudah di tutup untuk jalur pendakian umum, tapi masih saja jadi pilihan diantara kami yang merasa tertantang dan butuh sensasi gila. Tentunya kami melewati nya dengan sembunyi-sembunyi dari Ranger TNBTS. Kali ini aku memilih jalur ini, sekedar ingin mencoba karena Jalur Ranu Pani–Ranu Kumbolo yang lebih landai melewati Pos Watu Rejeng sudah pernah kulewati beberapa kali. Dan perjalanan kali ini pun kujalani untuk mengobati kerinduan yang memuncak, setelah sekian lama berdiam diri diantara kubikal-kubikal yang  lebih senang aku menyebutnya sebagai meja eksekusi atas sebuah status pendidikan.

 

Batuan rapuh yang tidak mempunyai cengkraman kuat diantara tanah-tanah dingin yang juga hampir sama tanpa ikatan kuat dari akar hijau. Hanya ada ilalang di sepanjang bukit ini, sedikit di sisi disebelah kiri yang ditumbuhi rimbun pepohonan, sedangkan sisi kanannya adalah jurang dalam tanpa pelindung. Apakah seperti itu perasaan yg menemani perjalananku ini. Dan sepertinya hampir sama, seperti berada di titik tejauh dari kehidupan, saling memperhatikan tapi tak ada ikatan yang menyatukan. Dan aku berada disana, diantara kebimbangan itu. Berjalan sendiri di sabana panjang ini, mengikuti jalan setapak yang kadang akupun ragu, akan dibawa kemana langkah kakiku ini.

 

“Kamu jadi mendaki ke Semeru?”

“Sendirian kamu kesana? Kenapa teman-temanmu tidak ada yang kau ajak” teringat kata yang tercipta di beberapa malam terakhir, yang terus menghawatirkanku. Memang bukan pertama ini aku ke Semeru, tapi kali ini aku berjalan dengan perasaan hati yang berbeda. Yang dulu lebih banyak dikejar oleh pemenuhan ambisi dan egoisme dimana tak pernah ada tawaran yang kutolak dari ajakan pendakian. Tanpa memperhitungkan berapa kali aku pernah kesana dan apa yg kucari. Perjalanan kali ini sepertinya ada sesuatu kerinduan membuncah yang harus segera kuluapkan, Ya… mungkin seperti letupan awan panas yang masih sering keluar dari Kawah Jonggring Saloko diatas sana.

 

***

 

 

Sore ini, kabut tipis menyelimuti danau indah di tengah Pegunungan Jambangan yang tercipta dari massive kawah yang membeku. Dingin yang menusuk tajam tapi mencanduiku untuk sekedar menyapanya kembali. Garis awan tipis diangkasa adalah ornament terindah yang menyambutku. Dan kuntum edelweiss yang merekah tentunya adalah sebuah jamuan istimewa yang tak akan pernah tergantikan. Aku disini, kembali dalam rengkuhan alam, bercumbu dengan sejuknya udara dan menari bimbang dalam pelukan kabut Ranu Kumbolo.

 

“Andai engkau ada disini..” gumamku

“Dan suatu saat nanti kau akan menemaniku disini, duduk menikmati senja yang merajuk…”. Seperti senja yang sedang kunikmati, tanpamu…

 

Angin dingin berhembus menggoyangkan bunga-bunga ungu yang tumbuh dari arah Tanjakan Cinta, sepertinya mengguggah dan menunjukanku arah yang harus kutuju, Pucak Mahameru. Tapi tidak untuk kali ini, aku hanya ingin berada disini menikmati gemerlap air yang memantulkan senja jingga. Membiarkan hatiku melebur dalam dinginnya udara Tengger. Semakin melebur dan semakin hilang, hingga rasaku menyatu dengan suasana ini. Aroma dalam yang terus mengusiku, Kau disana memperhatikanku tapi tak mampu kusentuh.

 

“Sinar namamu, seperti cahaya yang selalu menerangiku meski tanpa kau sadari…” Kusebut namamu, sepertinya terlalu sering kusebut namamu. Dalam setiap tulisan yang tak pernah henti kau rangkai. Aku mengagumimu dalam setiap pilihan kata yang kau gunakan untuk menceritakan kisahmu. Dan aku selalu ada disana… Sama seperti kau ada disini dalam perjalananku kali ini. Dalam sebuah kotak nasting yang kau sisipkan saat mengantarku dalam kekhawatiran kemarin. Kutemukan sepotong makanan berkalori tinggi dengan bentuk hati… berwarna putih dalam rasa coklat. Hm… Sepertinya rasa ini semakin melebur dalam kabut dingin Ranu Kumbolo ini.

 

Langkah ini yang menemaniku meninggalkan sejenak kepenatan ibu kota, yang semakin membuatku melupakan permainan imajinasi. “Ngiri banget dengan kretifitasmu…” sebuah tweet dengan hashtag nomention yang kukirim dalam timeline yang hanya terpampang namamu disana. Akankah hanya mengagumimu dalam garis waktu itu? Kemudian tertimbun tweet lain dan menguap seperti air danau yang terkena sinar matahari pagi. Akankah? Karena sebenarnya memang tak pernah kutemui dirimu disini, dalam setiap perjalananku, dalam setiap pendakianku, dalam setiap puncakku. Tidak seperti yang sering ku temui dalam tulisan petualanganmu. Kau merangkainya dengan apik meski tak pernah kau jalani.

 

Mungkin nanti, aku akan mengantarkanmu mewujudkan mimpi-mimpi yang ada di tulisanmu… tentang tempat yang indah ini, tentang pendakian yang melelahkan, dan tentang puncak dimana aku akan selalu menemukanmu…

 

"She’ll be coming round the mountain, when she comes…" nyanyianku lirih...

 

 

- - - - - - - - - 

hanya tulisan gak jelas dan #nomention, terinspirasi dari sebuah tweet dan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Abah Iwan Abdurrahman.Dan tentang kerinduan merangkai kata... 

 

 

hans

www.trihans.com


8 komentar:

gambar pacul mengatakan...

man kuwe luh danaune

Dee An mengatakan...

suwe gak ketok nang kene, dan aku masih suka membaca tulisanmu.... :)

Sri Sarining Diyah mengatakan...

kayak pemandangan ranukumbolo...

*belom baca tulisannya*
xxiixixi

Sri Sarining Diyah mengatakan...

itu yang motret gak diceritain po, kalo naik bukit cinta ga boleh berenti supaya cintanya kesampean xixixixx... ini kog malah motret ;))

HANS ' mengatakan...

maen mbok kang.... kaya waduk sempor lah nang gombong :D

HANS ' mengatakan...

kangen sangat menulis :">

HANS ' mengatakan...

bener mba Ari, emang Ranu Kumbolo, tapi kuambil dari sudut yang jarang diambil orang... di sisi bukit di baratnya. sebelah kananya Tanjakan Cinta...

HANS ' mengatakan...

hehe... ini kuambil pas baru turun dari puncak, jadi melipir dikit dari Tanjakan Cinta, jadi boleh moto-moto :)