Jumat, 01 Juli 2011

Imigran Sibuk membelai Ibu Kota

7 bulan lalu aku membulatkan tekad untuk meninggalkan kota panas yang sudah hampir 10 tahun ini kutinggali, Surabaya. Waktu 10 tahun tersebut tentunya cukup mengenalkanku dengan seluk beluk kota yang terkenal dengan pisuhannya itu. Menjelajahi gang-gang kecilnya hingga ke beberapa kota di sekitarnya. Tak ada saudara disana, tapi pergaulan dan persahabatanku mengantarkan pada persahabatan erat yang aku awali dari dunia maya, dunia milis. Dari situlah aku menemukan teman-teman yang selalu menemaniku bahkan terbawa hingga kini di Jakarta.

 

Ketakutan petama sebelum memilih Jakarta adalah, butuh berapa lama aku akan menghapalkan kota terbesar di negeri ini. Kayaknya tak cukup setahun untuk berani jalan sendiri ke sebuah tempat yang belum pernah kusinggahi.  Apalagi diluar sana Jakarta terkenal dengan macet dan kehidupanya yang tak kenal kompromi bagi mereka yang lemah. Takut… tentu saja, saya hanyalah pendatang dan baru beberapa kali menginjakan kaki disana. Hanya monas dan sekitarnya yang aku kenal sisanya adalah gap gelap seperti area perang di game Red Alert sebelum kita membeli Spy Satelit.. hm…

 

Sambutan macet dari Jakarta mampu aku terima dengan lapang dada, karena memang sudah resiko yang harus dihadapi jika memilih Jakarta sebagai tujuan hidupnya. Ya tentu saja mampu kuhadapi karena aku tak perlu bermacet ria menggunakan kendaraan umum dijalanan yang katanya lebih banyak jumlah kendaraan dari pada panjang jalan-nya. Karena aku memilih tinggal di tempat kos yang tidak jauh dari kantor utamaku, hm… jadi urusan macet Jakarta sudah diatasi meskipun harus menyewa tempat kos yang apabila aku masih tinggal di Surabaya bisa untuk membayar selama tiga bulan, mahal.

 

Petualangan dimulai,

 

 

Minggu kedua di Jakarta aku sudah berani mengendari motor sendiri ke Depok, kerumah tante Nha yang rumahnya di ujung Depok coret. Pengalaman sekali kerumahnya di tengah malam ternyata tak membuatku bingung dengan jalan lurus sepanjang Pancoran – Margonda. Dan tentunya Navigasi Feeling yang sudah tertanam di hampir setiap indifidu asli Jawa. Lor-Kidul, Utara Selatan Barat Timur, adalah kompas hidup yang hampir 90% ku akui keakuratanya. Pernah sekali aku ke Makassar dan Manado, saat pertama kaki ini berpijak di tanah Sulawesi, saat itu pula mampu kutunjukan arah Barat dengan benar. Tak bisa dinalar dengan akal, karena itu merupakan kebiasan kami di kampung, disana kami terbiasa membedakan ruangan dengan templete arah, contohnya: sentong lor (Kamar Utara), sentong kidul (Kamar Selatan), Kulon umah (Halaman Barat), atau wetan pager (Timurnya pagar). Itulah kebiasaan kami mengenal arah, sudah tradisi dan hingga kinipun aku bisa merasakan feel arah kiblat itu dimana.

 

Dengan bekal arah itulah aku berani menjelajahi Jakarta, meskipun baru bagiku dan tentunya malah lebih sering mendengar menyesatkan bagi orang Jakarta sendiri yang tak kenal arah. Bulan pertama di Jakarta sebuah event kecil kubuat, kali ini mengunjungi makam Soe Hok Gie di Museum Taman Prasasti, di Jakarta Pusat. Lagi-lagi navigasi arah yang ku berikan ke rekan-rekan Jakarta cukup membuat mereka tersesat, hahahah…. padahal letaknya ditengah kota Jakarta dengan patokan Sebelah Barat Monas. Malah ada yang sampe nyasar di halte Gambir ...behh!

 

Okelah, event pertama menemani imigran sibuk sukses mengumpul 20 kawan, dan hanya di dihadiri 4 cowok kesepian, sisanya adalah kaum cantik yang tentunya semakin memperindah aura kusam kuburan-kuburan di Museum Taman Prasasti. Event selanjutnya adalah JPers ON Seven, kembali bermain bersama warga @jepecom, memperingati 7  tahun kebersamaan di milis Jejak Petualang Community. Ide kecil yang kami mulai di Pasfest akhirnya mendapat sambutan dari JPers dan dari JP crew. Maka event di Ranca Upas digelar dengan bonus doorprise dari sponsor dan kado istimewa liputan di acara Jejak Petualang trans|7.

 

 

Hampir setiap minggu aku menikmati Jakarta bersama kawan-kawan. Bukan jalan-jalan mahal yang kujalani, tapi menimati Jakarta dengan murah. hanya modal untuk transportasi umum dan tiket masuk kesebuah lokasi wisata kota yang masih berkisar di HTM 10.000,-. Coba perhatikan, bagi teman-teman yang berkecimpung di dunia EO tentunya sangat memahami hal ini. Sepertinya semua orang Jakarta butuh hiburan. Apapun event yang diadakan selalu dipadati dan laris manis. Lihat saja Car Free Day di Sudirman, selalu dipadati warga Jakarta dari berbagai penjuru. Macetnya mobil setiap hari digantikan oleh kemacetan manusia. Beberapa kali aku membantu temen yang punya EO dan mengadakan tripnya di Jawa Timur, hm.. sudah dipastikan 80% pesertanya adalah warga Jakarta. Bagi mereka mungkin uang bukan lagi jadi masalah untuk menikmati sebuah kebebasan.

 

Sepertinya terjadi sebuah simbiosis Mutualisme disini, dimana aku sebagai pendatang butuh mengenal ibu kota lebih jauh, dan warga ibu kota butuh hiburan murah yang bisa dijadikan alternative selain harus membuang duit di mol-mol Metropolitan. Event-event kecil yang kurencanakan tak membutuhkan persiapan khusus, hanya dengan membuat flyer dan disebar di wall FB, atau hanya sekedar ajakan Imigran sibuk minta ditemani kesuatu tempat di status FB ataupun di milis. Seperti halnya acara jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan, hanya kuposting di status FBku, kemudian ada sekitar 7 kawan yang menemaniku mengelilingi hutan kecil di Ragunan, tak hanya berkeliling selama 4 jam, tapi juga menyempatkan untuk mengunjungi penangkaran binatang di tempat kang Maman.

 

 

Selanjutnya adalah event dengan peserta terbanyak yang kubuat selama 3 bulan jadi warga baru Jakarta, rencana Kunjungan ke 8 Museum di Kota Tua tapi karena beberapa hal akhinya meninggalkan 3 lokasi diantarnya. Dengan start di Taman Beos, kemudian diawali mengunjungi Museum Mandiri, Musium Bank Indonesia, Musium Fatahilah, Musium Wayang, Musium Seni Rupa, Jembatan Kota Intan kemudian berjalan ke utara sampai di Musium Bahari. Tujuan ke Sunda Kelapa ditangguhkan karena hujan deras. Disini lebih dari 50 kawan warga Jakarta yang mengikutiku melangkahkan kaki disekitar kota tua Jakarta. Hm.. pendatang baru mengguide warga ibu Kota.

 

Masih berlanjut, aku menemukan sebuah warung mendoan di Benhil tanpa sengaja. Tapi dari ketidaksengajaan itu kini tempat mendoan itu selalu menjadi Jujugan JPers yang sedang berkunjung di Benhil. Hampir seminggu sekali aku menjamu mereka disana, Mendoan adalah makanan khas dari banyumas, tak jauh dari rumah tinggalku di Gombong. Dengan ditemani teh poci dan gula batunya tentu semakin mantap menikmatinya dipinggir jalan. Dan dari Mendoan itulah kemudian lahir ide-ide kecil, salah satunya kunjungan ke TMII bersama lima kawan. Salah satunya adalah kang mas Wiwid yang sedang keluar hutan Kutai mengunjungi Jakarta. Berlima seharian mengelilingi TMII, dengan berbekal full makanan yang dimasak khusus oleh Mira, jadilah wisata keluarga kami menyantap makanan itu, hm.. yummy,

 

 

Menikmati musium adalah alternative yang kupilih untuk menemani jiwa ngelayap yang entah sejak kapan aku mulai. Ya kenapa museum, karena disana banyak informasi berharga dan tentunya banyak barang-barang unik yang mengandung banyak nilai sejarah. Tujuan  berikutnya adalah Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto. Koleksi keprajuritan yang lengkap sejak jaman kemerdekaan hingga setelahnya. Koleksi peralatan perang yang ada pun cukup lengkap, dari hanya bambu runcing, senapan, hingga pesawat terbang dan kendaraan perang. Tempatnya yang luas sangat tepat untuk mengadakan sebuah event, semoga pengelola museum mau membuka diri dengan memberikan tempat untuk komunitas yang ingin mengadakan acara, karena tentu nilai ganda akan didapatkan oleh pihak museium, selain publikasi juga informasi yang ditersebar pengunjung.

 

Jakarta sedikit ke selatan, ada sebuah tempat yang menarik minatku, Masjid Kubah Emas di Depok. Aku belum pernah kesana sebelumnya, dengan bantuan Google Map di hape kecilku akhirnya mengantarkan kesana. Gagal dikesempatan pertaman dan baru pada kesempatan kedua bisa memasuki masjid yang sangat megah itu, kubahnya yang berwarna emas itu ternyata memang tebuat dari emas, wow!. Ditemani Vina, Joe, Neni dan Opay, jadilah sore itu aku menjadi juragan minyak urut yang ditemani salesnya… :p hahaha. Bangunan megah khas timur tengah dengan ornament menakjubkan didalamnya. Kubah Emas bisa saja menjadi Masjid Termegah di Asia karena bahan pembuatanya yang memang terbuat dari batu marmer dan emas. Semoga kemegahan masjid itu juga membawa manfaat yang besar bagi pembuat dan tentunya bagi umat.

 

 

Hm… tak terasa akhir bulan ke 7 aku jalani di Jakarta, dan bulan depan adalah bulan ke delapan jadi warga Jakarta. Sepertinya tak butuh waktu lama lagi untuk mengenal Jakarta, jalanan macet yang semakin aku nikmati. Nongkrong dari satu Pemaran ke pameran lainya bersama kawan-kawan. Persahabatan dibawah papan pasfest yang hampir setiap malam minggu ku kunjungi tapi tak pernah merasa bosen. Dan tentunya kawan-kawan yang selalu menemani Imigran Sibuk ini menikmati Jakarta dengan apa adanya tanpa harus mengeluh….

 

 

Selamat ulang tahun Jakarta ke 484….

 

 

 

-hans-

www.trihans.com

Tidak ada komentar: