Kamis, 15 Juli 2010

Menjadi Anak Kos..



Sore itu sore yang biasa bagi kebanyakan orang, suatu sore dipertengahan bulan Juli tahun 1998 mendekati puncak musim kemarau disekitar Jawa Tengah bagian Selatan. Tapi sore itu bukalah sore yang biasa bagiku, tak biasa karena ibu memeluku dengan erat. Pelukan kepada anak bontotnya yang harus memulai hidup dikota orang menjadi seorang anak kos. Aku belum dewasa, belum juga remaja matang. Hanya seorang anak ingusan lulusan SMP yang baru berumur 14 tahun. Dengan diantar Bapakku, aku menaiki bus antar kota sejauh 60 km menuju sebuah kota dingin diselatan Gunung Slamet, Purwokerto, kota yang terkenal dengan Blaka Suta-nya (keterbukaan) yang dilambangkan dengan sosok Semar sebagai lambang kejujuran yang selalu diagungkan tokoh ini dalam keluarga Punakawan.

Dikeluargaku aku adalah anak ketiga, dengan kebetulan juga kedua kakaku telah mendahuluiku menjadi anak kos dikota Purwokerto. Aku meneruskan jejak mereka, kakak pertamaku saat itu sedang tingkat kedua disebuah universitas di Dukuh Waluh, sedangkan kakak perempuanku  juga sedang melanjutkan pendidikan kejuruan di sebuah sekolah keperatawan di Mersi. Kali ini akupun memulai menjadi anak kos dengan alasan menjadi siswa sekolah kejuruan di utara perempatan Karang Bawang. Sekolah kejuruan yang sampe sekarang ilmunya masih aku pergunakan menjadi jalan kehidupanku didunia telekomunikasi.

Aku takut untuk menjadi anak kos, ketakutan anak kecil  jika harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Aku anak ragil yang manja, bahkan tidurpun kadang aku masih bareng dengan ibuku minta dikeloni. Kemudian harus menjadi anak kos, hidup sendiri disebuah kamar kos berukuran 2x2m yang hanya terbuat dari sekat papan triplek tipis. Apalagi  saat itu lagi boomingnya lagu nasib anak kosnya  Phadayangan Project (sekarang Project Pop),  dengan liriknya yang menimbulkan ketakutanku meskipun sebenernya itu adalah lagu parodi.

Nasib anak kost tak kenal
Mengikuti mata kuliah
Ya nasib anak kost rajin belajar
Agar hidup tak susah la yaw ya nasib

Aku makan tiap hari
Kadang hanya makan mi
Gimana nggak kurang gizi

Wesel datang tak pasti
Ibu kost tak mau mengerti
Nagih sewa bulan ini ..

Hidup sangat sedih .. uhh
Nasib anak kost ya nasib anak kost 2x

Kupernah punya janji
Ketemu dengan doi
Cewek kecenganku kini

Kuketuk pintu pasti
Keluar dosen wali
Ternyata pacar si doi

Hidupku jadi sepi karena
Mikir si doi
Sampai aku lupa mandi

Badan bau terasi
Tak ada mahasiswi yang mau padaku ini .. uh

Ingin bunuh diri uh .. nasib anak kost
Nasib anak kost....

Setahun pertama aku kos di sebuah rumah kos di gang Karang Baru dengan 13 anak kosnya. Rumahnya “mewah” mepet dengan sawah dengan sebuah kolam ikan ditengahnya dan pohon jambu yang selalu menjadi incaran kelaparan kami. Dan akhirnya jadilah kami tertuduh saat bapak kos menanyakan buah buah jambunya yang sudah tidak ada dibatang pohonya, dengan barang bukti biji jambu yang dibuang dikolam ikanya… ah kenakalan anak kecil. Meskipun kos beramai ramai motivasi belajarku masih tinggi, selalu membaca buku sebelum tidur.

Dua tahun berikutnya aku pindah ke sebuah kos khusus cowok diutara Pasar Wage. Lebih jauh memang, sekitar 1km dari sekolahku yang berada di jalan DI Panjaitan didepan hotel Orlando. Aku membawa sepeda federal kesayanganku yang selalu menemaniku saat. Kali ini sepeda itu 2 tahun menemaniku menjelajahi kota Purwokerto dari sekitar Unsud hingga keselatan di sekitar Tanjung. Kos di Pondok Kon Ayu Pasar Wage, aku dikenalkan dengan teman teman kos yang maniak ngegame PS, bermain kartu remi, bola, dan juga menyewa komik. Saat itu komputer belum seperti sekarang ini hanya satu dua temen yang memilikinya. Komik favorit kami saat itu adalah Dragon ball Z, Kung fu Boy, Kungfu Komang, rela kami antri membaca komik meskipun esoknya ujian catur wulan. Maka prestasi sekolahku turun drastis disini yang dulunya masih masuk 10 besar jadi 20 besar.

Kos di utara Pasar Wage ini kami memberinya nama, kos DDSS, dimana ibu kos kami selain menjadi perias dan catering juga menjual danging sapi dengan nama : Depot Daging Sapi Seger. Namanya ibu Salimi, beliau sangat baik pada kami. Sewa kos plus makan yang saat itu (th 1999) hanya seharga Rp.120.000,-/bulan. Sedangkan bapak kos adalah seorang pengusaha yang sekarang lebih suka memelihara burung. Ada seratus lebih kurungan + burung di rumahnya, setiap hari bapak selalu rajin memberi makan dan melihara burung-burung itu. Banyak banget. Dimana mana disetiap sudut rumah adalah kurungan burung berbagai jenis. Ada satu burung yang sial, bapak kos menempatkan kurunganya cukup rendah diantara lorong jalan yang selalu kami lalui. Sering kami berlari dilorong itu jika tiba tiba ada panggilan penting baik hanya karena ada telepon maupun karena Sinetron Lupus Milenia yang menjadi tanyangan fav kami. Maka beberapa kali kurungan dan burung itu terjatuh karena mata kami tidak memperhatikanya dan kepala kami dengan kecepatan tak terkontrol menabraknya. Berkali kali kurungan itu jatuh beserta burung didalamnya yang juga depresi berat.

Pada periode itu aku pernah merasakan jadi anak kos dikota pelajar, Jogja. Selama 3 bulan menjadi anak kos di Krasak disekitar stasiun Lempuyangan selatan Stadion Kridosono. Kebetulan saat itu aku mengikuti program Pendidikan Sistem Ganda (lebih dikenal PKL) yang merupakan program wajib pengenalan dunia kerja yang harus di ikuti siswa sekolah Kejuruan. Setiap hari keliling kota Jogja dengan menggunakan pick-up terbuka. Menjadi tukang kabel yang sampe sekarang ilmu itu masih aku gunakan. Ada manfaat yang sampe sekarang masih rasakan, dengan menjadi tukang kabel itu dan berkeliling kota jogja selama 3 bulan, sampai sekarang aku masih cukup mengetahui dengan detail seluk beluk kota Jogja bahkan sampai gang tikusnya.

3 tahun mengawali jadi anak kos, dengan rasa ketakukan yang tak beralasan akhirnya menghantakanku untuk menjadi anak kos lebih lama lagi, berpindah-pindah kota, akhirnya Surabaya menjadi kota terakhir yang sudah 9 tahun ini aku tinggali. Kota yang panas dan dikenal dengan logat bahasanya yang juga kasar. Super panas memang, 9 tahun mencoba mengenali kota ini hanya panasnya yang tak mampu aku terima dengan legowo. Pertama kos di Surabaya karena Program Magang yang diadakan sebuah perusahaan telekomunikasi yang berkantor di belakang Tunjungan Plasa. Maka rumah kos pertama di kota ini disekitar mall tersebut, di jalan Kaliasin Pompa. Hampir setiap hari keluar masuk Mall, meskipun hanya untuk pulang kerja melewati pintu depan dan keluar pintu belakang Mall. 

Hanya sebulan aku kos Kaliasin Pompa karena berpindah kerja di Kantor Kebalen, sekarang tepat didepan House Of Sampoerna. Kosku pun kemudian pindah di jalan Tambak Grinsing gang I, hanya beberapa puluh meter di sebelah barat pabrik Rokok Sampoerna. Menjalani kos diutara kota Panas, sungguh terasa panasnya, karena jarangan pepohonan dan hanya berjarak beberapa km dari pantai utara di Pelabuhan Tanjung Perak. Tiga bulan berkantor di kebalen aku pindah kerja lagi di Wiyung. Kemudian karena aku melanjutkan kuliah di Selatan Surabaya aku kembali berpindah kos setelah 1,5 tahun PP sejauh 30km setiap harinya. Selalu berangkat sebelum jam 7 pagi dan pulang jam 10 malam setelah kuliah malam. 

Dan sampai sekarang aku kos di daerah Ketintang hampir 8 tahun. Meskipun aku berpindah kerja lagi ditengah kota, tapi aku tetep kos ditempat yang sama, Selain karena sudah lama dan sudah cukup mengenal dengan warga disini, dengan daerah ini aku kadung jatuh cinta pada padangan pertama. Kampungnya yang tidak terlalu padat, juga disini masih banyak pohon pohon hijau yang cukup meneduhkan tidak seperti yang kutemui diujung utara Surabaya

12 tahun menjalani kehidupan kos, dengan 7 kali panda kos di 3 kota yang berbeda. Begitu banyak cerita dan kisah suka dan duka menjadi anak rantau yang semakin jauh dari rumah dimana aku dibesarkan. Rasa kangen akan rumah selalu menjadi bumbu untuk tetap menjalani kehidupan dirantau. Ya.. jiwa perantau mau tidak mau pasti berpikir untuk kembali, mungkin bukan sekarang … esok atau nanti…


-hans-
www.trihans.com

5 komentar:

Nurul aneh mengatakan...

Nasib anak kost: cari makan di tempat orang, sop tak habis pun dilalap. Makanan nganggur dibawa pulang, jatah besok bwt sarapan. SAKNO! Hehe

DhaVe Dhanang mengatakan...

nasib..nasib..
sama dunk..

HANS ' mengatakan...

pokoke nek ono tawaran makan pake prinsip kenyang dulu baru malu kemudian..haha :P

ugik madyo mengatakan...

aku dari dulu punya cita2 pengen ngerasain idup ngekos. ndilalah kok belum kesampaian sampe skr.
hebat Kohan... bertahan 12 tahun ngekos :)

HANS ' mengatakan...

awal mula juga bukan dari kemanuan sendiri mba, tapi sampe akhirnya harus menjalaninya.
Alhamdulillah begitu banyak ilmu yang kutemui untuk tetap survive...