Selasa, 06 Juli 2010

Perempatan Sarinah disuatu sore..


Akhir April 2010,
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Langit sore itu masih menyisakan keganasan panas yang telah ia lewati siang tadi. Kaki-kaki berwajah lusuh meramaikan sudut demi sudut dari ujung Medan Merdeka Barat sampai Sudirman. Debu kumal menyesakan nafas sore yang semakin padat. Retakan-retakan keriput wajah yang hampir terlupakan menandakan bahwa ia telah tua lebih lama dijalanan. Lalu lalang saling menyalip lambaian kernet metromini menampar getirnya ibu kota yang semakin tua tanpa pernah ia sadari. Thamrin Sore itu…

Dua termos dibelakang dan satu keranjang penuh mimpi didepan. Menjajakan keringat mencoba menghilangkan dahaga, kau dari kaum marjinal mengusir haus tenggorokan kaumu. Atau mungkin kau memanfaat derita kami untuk menyambung hidupmu dalam seteguk asa. Air panasmu menemaniku sore itu yang teridam terpaku menikmati kesunyian dikeramaian satu puncak jam sibuk dikota terpadat . Duduk bersila laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura. Di singgasana agung melupakan keberadaan rakyat jelata yang lelah mengadu nasib dikotak kotak kepenatan.

Masih aku menikmati, atau aku terpukau akan ribuan manusia yang menyemut meramaikan jalan bersilang itu. Separator koridor 1 ditengah membelah menghantarkan lebih cepat menuju peraduan rebah. Tempat dimana cinta-cinta diciptakan mengembang bagai sarang tawon muda. Dan jika raga telah penuh daya lagi esok pagi, tak bisa kau pungkiri bahwa jiwamu telah terbeli segepok mimpi di ujung rem-bulan. Aku masih menikmati sore itu…

Termenung merangkai hari dari ujung rel di stasiun kota tadi pagi, melangkahkan kaki letih disekitar bangunan tua, menggali sejarah Jakarta diantara rangkaian kata disetiap prasasti. Aku terkagum, bangsa ini sungguh besar diagungkan dicari direbutkan dan akhirnya dijajah tuan tuan berilmu tinggi. Kini… aku hanya mengagumi keindahan yang pernah tercipta dari usangnya tembok disekitar istana. Atau dinginya lorong berlumut di penjara bawah tanah. Tak lelah kusapa kumpulan wayang-wayang ekspresi bumi kuno dari Ramayana Mahabarata, epos yang telah ada sejak 1500 SM. Sungguh tua kisah itu…

Dan setelah kucapai atap Batavia diantara peluh dan terik ini, maka sore itu aku kembali tertegun pada magnet kehidupan yang menarik perhatianku. Jakarta yang begitu ramai, dan aku jadi penonton yang menyaksikan suguhan kepenatan. Pecahnya satu jam pasir saat ribuan manusia menyelesaikan hukuman dari ruang penat disudut mejanya.

Aku masih duduk bersila diatas singgasana, laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura..


***

“Han malu ih” tante Nha yang baru saja berlari kecil meyeberangi zebra cross diperempatan Sarinah menyapa dan membangunkan lamunanku yang sedang menikmati keramaian sore itu ditemani kopi digelas plastik kecil. Ia baru keluar dari gedung berwana coklat yang sejak tadi aku pandangi disisi barat tempatku duduk. Dan disinilah kami berjanji untuk bertemu di Perempatan Sarinah.

“malu-maluin banget sih, keliatan udiknya apa boneknya” lagi tante menambahi mengomentariku. Jarinya beberapa kali mencolek dari belakangku yang masih bersila diatas panel listrik disalah satu sudut perempatan itu. Ia mungkin malu mengajaku berbicara terang-terangan diantara keramaian manusia. Pukul setengah lima sore itu.

“Kenapa mesti malu, kan cuma duduk” aku menyangkal.

Dan kemudian mencoba membayangkan menjadi orang lain yang melihatku sore itu. Disudut timur laut perempatan Sarinah, tepat didepan sebuah kedai kopi yang berlogo lingkaran hijau. Ada 3 buah panel listrik dan salah satu panelnya yang ditengah hanya berupa pondasi cor setinggi satu meter tanpa ada panel besi diatasnya. Sambil menunggu tante Nha yang masih sibuk dengan pekerjaan akhir bulan-nya. Aku memilih mencari tempat nyaman untuk menunggunya. Maka Panel itu menjadi tempat yang nyaman untukku duduk sambil istirahat setelah sehari penuh sendirian melangkahkan kaki di kota tua. Memasuki ke empat musemnya dari Museum Keramik dan Seni Rupa, museum Sejarah Jakarta musem Wayang dan Museum Bank Mandiri. Masih ditambah lagi dengan jalan kaki dari Halte Monas mengelilingi Monumen Nasional dan sampai akhirnya naik lift keatas Monumen. Meskipun sebelumnya sempat protes kenapa jalan masuknya jauh banget… (padahal ada kereta yang gratis mengantarkan sampai pintu masuk…hyaa !!)

Sebelum sampai di Perempatan Sarinah aku sempat tertidur ditaman selatan monas dan kemudian menyapa beberapa teman yang berkantor di Wisma Antara. Segendongan backpack 35lt dengan kondisi full pack menemani langkahku seharian ini. Dan sore itu sambil menunggu tante Nha, aku memilih menikmati keramaian Jakarta, orang-orang lalu lalang dengan langkah cepat berebut kendaraan umum, sepeda motor yang tak tau malu melewati trotoar disisi kanan jalan. Juga penjual minuman panas dengan dua termos dibelakang dan sekeranjang minuman instan didepan saling salip dengan penjual lainya. Sungguh seru apa yang kuperhatikan sore itu. Mungkin sama serunya dengan mereka yang memperhatikanku sedang duduk bersila dalam kedamaian dipusat keramaian itu, hahaaha…

Maka Perempatan Sarinah sore itu aku tinggalkan dengan penuh senyum, entah tentang rasa coffein yang masih hangat atau karena tersenyum mengingat kelakuanku menjadi manusia Bonek dikota Jakmania…..


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mengawali perjalananku seminggu di jakarta untuk JUST Travellers.



hans
www.trihans.com

2 komentar:

chepot chepot mengatakan...

weww..good journey ..
btw..jgn tertipu oleh ksibukan,..di gedung2 tinggi bertingkat itu banyak ruangan kosong dan kumuh..

HANS ' mengatakan...

ruang kosong dengan isi pejabat busuk bangsa ini...wah wah.. apa kata dunia.