Rabu, 28 Juli 2010

[JP & JPers] Berdiskusi Dengan Alam





24-25 Juli 2010

Dengan Sempurna Ranu Kumbolo telah mempertemukan kita dalam jamuan persahabatan antara JP Trans|7 dan JPers Commmunity...

Photo by: WEA photography
Nikon D300, IR D70, Pocket Lumix

Rabu, 21 Juli 2010

Kumpul bareng with Jejak Petualang Crew di Ranu Kumbolo


Sabtu, 24 Juli 2010

Lokasi : Ranu Kumbolo – Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

***

Mau Ketemu Riyanni Djangkaru… kapan?…. cek informasi di bawah ini..

Ayo .. Kita seru-seruan, berkumpul bareng presenter dan kru Jejak Petualang Trans 7, bakal ada games seru dan upacara 17an ( syuting Edisi Special Agustusan).
Tahun ini mengambil lokasi di Gunung tertinggi di Pulau jawa, tepatnya di Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur, tanggal 24 juli All crew brangkat dr cengkareng 22 juli.
Start jalan dari Ranu Pane, tanggal 23 pagi, sesampai di Ranu Kumbolo 24 pagi ( persiapan upacara ). So, tunggu apalagi guys…langsung ketemu disana yaa..!!

Hal yang perlu diperhatikan :
- event ini bebas bagi siapa saja yg hobby hiking, berpetualang dan all fans Jejak Petualang Trans 7.
- tidak berharap imbalan.
- bawalah peralatan mendaki yg mendukung + obat2an.
- bawa ransum secukupnya, selama pendakian.
- ingat, simpan sampah dan bawa turun lagi (selama dlm pendakian).
- tidak menanggung biaya ( ditanggung masing-masing).
- jangan lupa bawa Kamera ! (untuk mengabadikan moment)..^_^

Salam Jejak Petualang ..

info: http://www.facebook.com/event.php?eid=123646064346848&index=1

info lain di: milis Jejak Petualang ( jejakpetualang@yahoogroups.com )

Senin, 19 Juli 2010

Cergam Jambore Petualang Indonesia 2009 [Downloadable]



Secangkir teh hangat…


Alhamdulillah,

Selalu bercampur rasa saat aku menuliskan catatan ini, apalagi periode penulisanya tidak dalam waktu yang bersamaan, Awal aku menuliskanya sekitar bulan Oktober 2009 –Desember 2009, beberapa bulan setelah Jambore Petualang Indonesia 2009. Kemudian kuselesaikan penulisannya 15 Juli 2010. Rentang waktu yang cukup panjang hanya untuk sebuah catatan event.

Seluruh catatan ini sudah kuposting secara berkala di blog Multiply. Dan setelah semua selesai kutulis, kujadikan dalam bentuk cergam ini. Agar bisa dibaca oleh teman-teman yang tidak memiliki account MP. Beberapa yang memiliki Account MP sudah pernah membaca tulisan ini di http://kohan2282.multiply.com atau di alamat www.trihans.com.

Dalam catatanku ini, seperti catatan lainnya aku selalu menuliskan nama maupun merek dengan jelas. Tidak ada unsur promosi, tapi inilah caraku menyampaikan terima kasih baik kepada personal maupun kepada pihak yang telah membantu hingga event ini terlaksana. Dan Catatan ini bukanlah laporan pertanggungjawaban panitia JPI 2009. Hanya catatan personal yang ditulis dengan sudut pandang si penulis, dan tidak ada tanggung jawab untuk menuliskan merek atau logo sponsor disini.

Untuk melengkapi tulisan ini aku menyisipkan beberapa foto. Ada foto yang kuambil di MP, FB baik peserta maupu panitia JPI. Ada yang sudah meminta ijin juga banyak yang hanya kuambil dialbum foto online, dengan ini saya mohon ijin untuk menggunakanya di catatan ini.

Surabaya, 15 Juli 2010

Terima kasih,

  

Hans


 Untuk mendownload silakan KLIK link dibawah ini ! 

Kamis, 15 Juli 2010

Menjadi Anak Kos..



Sore itu sore yang biasa bagi kebanyakan orang, suatu sore dipertengahan bulan Juli tahun 1998 mendekati puncak musim kemarau disekitar Jawa Tengah bagian Selatan. Tapi sore itu bukalah sore yang biasa bagiku, tak biasa karena ibu memeluku dengan erat. Pelukan kepada anak bontotnya yang harus memulai hidup dikota orang menjadi seorang anak kos. Aku belum dewasa, belum juga remaja matang. Hanya seorang anak ingusan lulusan SMP yang baru berumur 14 tahun. Dengan diantar Bapakku, aku menaiki bus antar kota sejauh 60 km menuju sebuah kota dingin diselatan Gunung Slamet, Purwokerto, kota yang terkenal dengan Blaka Suta-nya (keterbukaan) yang dilambangkan dengan sosok Semar sebagai lambang kejujuran yang selalu diagungkan tokoh ini dalam keluarga Punakawan.

Dikeluargaku aku adalah anak ketiga, dengan kebetulan juga kedua kakaku telah mendahuluiku menjadi anak kos dikota Purwokerto. Aku meneruskan jejak mereka, kakak pertamaku saat itu sedang tingkat kedua disebuah universitas di Dukuh Waluh, sedangkan kakak perempuanku  juga sedang melanjutkan pendidikan kejuruan di sebuah sekolah keperatawan di Mersi. Kali ini akupun memulai menjadi anak kos dengan alasan menjadi siswa sekolah kejuruan di utara perempatan Karang Bawang. Sekolah kejuruan yang sampe sekarang ilmunya masih aku pergunakan menjadi jalan kehidupanku didunia telekomunikasi.

Aku takut untuk menjadi anak kos, ketakutan anak kecil  jika harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Aku anak ragil yang manja, bahkan tidurpun kadang aku masih bareng dengan ibuku minta dikeloni. Kemudian harus menjadi anak kos, hidup sendiri disebuah kamar kos berukuran 2x2m yang hanya terbuat dari sekat papan triplek tipis. Apalagi  saat itu lagi boomingnya lagu nasib anak kosnya  Phadayangan Project (sekarang Project Pop),  dengan liriknya yang menimbulkan ketakutanku meskipun sebenernya itu adalah lagu parodi.

Nasib anak kost tak kenal
Mengikuti mata kuliah
Ya nasib anak kost rajin belajar
Agar hidup tak susah la yaw ya nasib

Aku makan tiap hari
Kadang hanya makan mi
Gimana nggak kurang gizi

Wesel datang tak pasti
Ibu kost tak mau mengerti
Nagih sewa bulan ini ..

Hidup sangat sedih .. uhh
Nasib anak kost ya nasib anak kost 2x

Kupernah punya janji
Ketemu dengan doi
Cewek kecenganku kini

Kuketuk pintu pasti
Keluar dosen wali
Ternyata pacar si doi

Hidupku jadi sepi karena
Mikir si doi
Sampai aku lupa mandi

Badan bau terasi
Tak ada mahasiswi yang mau padaku ini .. uh

Ingin bunuh diri uh .. nasib anak kost
Nasib anak kost....

Setahun pertama aku kos di sebuah rumah kos di gang Karang Baru dengan 13 anak kosnya. Rumahnya “mewah” mepet dengan sawah dengan sebuah kolam ikan ditengahnya dan pohon jambu yang selalu menjadi incaran kelaparan kami. Dan akhirnya jadilah kami tertuduh saat bapak kos menanyakan buah buah jambunya yang sudah tidak ada dibatang pohonya, dengan barang bukti biji jambu yang dibuang dikolam ikanya… ah kenakalan anak kecil. Meskipun kos beramai ramai motivasi belajarku masih tinggi, selalu membaca buku sebelum tidur.

Dua tahun berikutnya aku pindah ke sebuah kos khusus cowok diutara Pasar Wage. Lebih jauh memang, sekitar 1km dari sekolahku yang berada di jalan DI Panjaitan didepan hotel Orlando. Aku membawa sepeda federal kesayanganku yang selalu menemaniku saat. Kali ini sepeda itu 2 tahun menemaniku menjelajahi kota Purwokerto dari sekitar Unsud hingga keselatan di sekitar Tanjung. Kos di Pondok Kon Ayu Pasar Wage, aku dikenalkan dengan teman teman kos yang maniak ngegame PS, bermain kartu remi, bola, dan juga menyewa komik. Saat itu komputer belum seperti sekarang ini hanya satu dua temen yang memilikinya. Komik favorit kami saat itu adalah Dragon ball Z, Kung fu Boy, Kungfu Komang, rela kami antri membaca komik meskipun esoknya ujian catur wulan. Maka prestasi sekolahku turun drastis disini yang dulunya masih masuk 10 besar jadi 20 besar.

Kos di utara Pasar Wage ini kami memberinya nama, kos DDSS, dimana ibu kos kami selain menjadi perias dan catering juga menjual danging sapi dengan nama : Depot Daging Sapi Seger. Namanya ibu Salimi, beliau sangat baik pada kami. Sewa kos plus makan yang saat itu (th 1999) hanya seharga Rp.120.000,-/bulan. Sedangkan bapak kos adalah seorang pengusaha yang sekarang lebih suka memelihara burung. Ada seratus lebih kurungan + burung di rumahnya, setiap hari bapak selalu rajin memberi makan dan melihara burung-burung itu. Banyak banget. Dimana mana disetiap sudut rumah adalah kurungan burung berbagai jenis. Ada satu burung yang sial, bapak kos menempatkan kurunganya cukup rendah diantara lorong jalan yang selalu kami lalui. Sering kami berlari dilorong itu jika tiba tiba ada panggilan penting baik hanya karena ada telepon maupun karena Sinetron Lupus Milenia yang menjadi tanyangan fav kami. Maka beberapa kali kurungan dan burung itu terjatuh karena mata kami tidak memperhatikanya dan kepala kami dengan kecepatan tak terkontrol menabraknya. Berkali kali kurungan itu jatuh beserta burung didalamnya yang juga depresi berat.

Pada periode itu aku pernah merasakan jadi anak kos dikota pelajar, Jogja. Selama 3 bulan menjadi anak kos di Krasak disekitar stasiun Lempuyangan selatan Stadion Kridosono. Kebetulan saat itu aku mengikuti program Pendidikan Sistem Ganda (lebih dikenal PKL) yang merupakan program wajib pengenalan dunia kerja yang harus di ikuti siswa sekolah Kejuruan. Setiap hari keliling kota Jogja dengan menggunakan pick-up terbuka. Menjadi tukang kabel yang sampe sekarang ilmu itu masih aku gunakan. Ada manfaat yang sampe sekarang masih rasakan, dengan menjadi tukang kabel itu dan berkeliling kota jogja selama 3 bulan, sampai sekarang aku masih cukup mengetahui dengan detail seluk beluk kota Jogja bahkan sampai gang tikusnya.

3 tahun mengawali jadi anak kos, dengan rasa ketakukan yang tak beralasan akhirnya menghantakanku untuk menjadi anak kos lebih lama lagi, berpindah-pindah kota, akhirnya Surabaya menjadi kota terakhir yang sudah 9 tahun ini aku tinggali. Kota yang panas dan dikenal dengan logat bahasanya yang juga kasar. Super panas memang, 9 tahun mencoba mengenali kota ini hanya panasnya yang tak mampu aku terima dengan legowo. Pertama kos di Surabaya karena Program Magang yang diadakan sebuah perusahaan telekomunikasi yang berkantor di belakang Tunjungan Plasa. Maka rumah kos pertama di kota ini disekitar mall tersebut, di jalan Kaliasin Pompa. Hampir setiap hari keluar masuk Mall, meskipun hanya untuk pulang kerja melewati pintu depan dan keluar pintu belakang Mall. 

Hanya sebulan aku kos Kaliasin Pompa karena berpindah kerja di Kantor Kebalen, sekarang tepat didepan House Of Sampoerna. Kosku pun kemudian pindah di jalan Tambak Grinsing gang I, hanya beberapa puluh meter di sebelah barat pabrik Rokok Sampoerna. Menjalani kos diutara kota Panas, sungguh terasa panasnya, karena jarangan pepohonan dan hanya berjarak beberapa km dari pantai utara di Pelabuhan Tanjung Perak. Tiga bulan berkantor di kebalen aku pindah kerja lagi di Wiyung. Kemudian karena aku melanjutkan kuliah di Selatan Surabaya aku kembali berpindah kos setelah 1,5 tahun PP sejauh 30km setiap harinya. Selalu berangkat sebelum jam 7 pagi dan pulang jam 10 malam setelah kuliah malam. 

Dan sampai sekarang aku kos di daerah Ketintang hampir 8 tahun. Meskipun aku berpindah kerja lagi ditengah kota, tapi aku tetep kos ditempat yang sama, Selain karena sudah lama dan sudah cukup mengenal dengan warga disini, dengan daerah ini aku kadung jatuh cinta pada padangan pertama. Kampungnya yang tidak terlalu padat, juga disini masih banyak pohon pohon hijau yang cukup meneduhkan tidak seperti yang kutemui diujung utara Surabaya

12 tahun menjalani kehidupan kos, dengan 7 kali panda kos di 3 kota yang berbeda. Begitu banyak cerita dan kisah suka dan duka menjadi anak rantau yang semakin jauh dari rumah dimana aku dibesarkan. Rasa kangen akan rumah selalu menjadi bumbu untuk tetap menjalani kehidupan dirantau. Ya.. jiwa perantau mau tidak mau pasti berpikir untuk kembali, mungkin bukan sekarang … esok atau nanti…


-hans-
www.trihans.com

Rabu, 14 Juli 2010

Museum Empu Tantular tanpa naskah Kakawin Sutasoma

Sidoarjo, 13 Juli 2010.



Libur lagi.. sebenernya tidak libur lagi, hanya saja jam kerjaku yang berbeda dengan kebanyakan orang. Aku mengikuti kerja Shift sudah 3 tahun ini dengan jam kerja yang tidak menentu tapi yang tentu banyak liburnya, atau setidaknya aku bisa mengatur jadwal liburku sesuai dengan kebutuhan tidak tergantung dengan jadwal orang kantoran. Pagi ini, setelah dua temenku mba Ugik dan Nurul mengundurkan diri untuk bertemu, akhirnya aku berinisiatif untuk menikmati kota diselatan Surabaya yang 4 tahun ini jadi terkenal gara-gara adanya luapan lumpur Porong karena ulah penambangan manusia.

 Tujuanku siang ini adalah ingin mengunjungi Museum Mpu Tantular, yang pertama kukenal berada di jalan Mayangkara disebuah rumah klasik dengan atap unik khas Eropa tepat berseberangan dengan patung SURO dan BOYO ikon kota Surabaya. Tapi sejak bulan mei 2004 museum ini dipindahkan dijalan Buduran, disebelah barat jalan Layang Buduran Sidoarjo. Dengan lokasi yang lebih luas. Nama Museum ini adalah Museum Negeri Jawa Timur “Mpu Tantular”. Sedangkan Mpu Tantular adalah seorang Sastrawan jaman kerajaan jawa dengan dua karya besarnya Arjunawiwaha dan Sutasoma.

Cukup penasaran dengan isi koleksi dari museum ini, pagi kemarin aku ber-sms dengan Nurul yang rumahnya tidak jauh dibelakang museum itu. Mengajaknya untuk menemaniku melihat lihat Museum ini. Dari namanya ingatan kita akan tertuju pada sebuah kerajaan yang baru berdiri diakhir abad 12 masih keturunan raja-raja jawa Kediri dan Singosari. Sebuah kerjaan besar yang akan menjadi tonggak bersatunya Nusantara, bahkan hingga jauh kebarat di daratan Asia (Prasasti di Thailand). Majapahit. Dari cerita guru SD-ku, Majapahit berasal dari nama buah yang banyak tumbuh didaratan jawa timur, disekitar Trowulan ibu kota Majapahit saat itu (Sekarang berada di kabupaten Jombang). Maja adalah sebuah tanaman dengan buah bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa lebih besar dari Apel. Dengan kulit yang mengkilat dan keras dan sangat pahit rasanya. Itulah alasan kenapa diberinama Majapahit… (maaf cerita ini tidak bisa dibenarkan, bisa saja hanya pengantar guru SDku untuk memulai cerita Majapahit ini, tapi cukup masuk akal). Sangat kebetulan juga, di Museum ini banyak ditumbuhin pohon buah Maja, dengan daun yang lebar dan cabang dimana-mana cukup meneduhkan dan tidak mengotori dengan daun daun keringnya yang mati.

Ada 4 bangunan utama yang berada dikomplek Museum ini. Pertama memasuki komplek museum ini dengan tiket yang cukup murah (Dewasa : Rp 1500, anak anak Rp 1000, jika Rombongan lebih dari 10 orang Dewasa Rp 1000, anak anak: Rp 500,-). Hampir semua museum Negeri yang dikelola pemerintah memang mematok tiket yang murah, karena pengelolaan Museum sudah didanai APBD melalui Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (sebelumnya dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Bangunan pertama yang kita temui adalah Sebuah pendo kecil yang biasa juga digunakan sebagai tempat istirahat pengunjung. Ada sebuah Prasasti Lingga (lambang kesuburan) disisi utaranya. Lingga ini adalah berupa cawan air persegi yang atasnya ditutup sebuah batu besar menyerupai pasak tumpul (lebih mirip mortir roket tumpul). Dari beberapa lingga yang kuliat di Musem Nasional, Lingga dibuat dengan tingkat kerapian tinggi batuanya bahkan sampai mengkilap karena halusnya tidak seperti arca ataupun candi yang dibuat tapi masih hasar.

Bangun dibelakang pendopo adalah bangun Utama, sebuah bangunan 2 lantai, dilantai pertama kita akan menemui banyak koleksi hasil penemuan-penemuan purbakala dan Budaya disekitar Jawa Timur. Dimulai dengan penemuan geologi yang berupa fosil hewan, manusia purba (dari Pacitan), batuan mineral dan beberapa tengkorak hewan purba salah satunya kepala seekor kerbau yang ditemukan di Sungai Porong berumur sekitar 800.000 tahun. tepat dibelakang penemuan geologi itu berupa sebuah ruangan menyerupai Brankas besar dengan pintu teralis dan pintu besi yang tebal. Didalamnya banyak peninggalan berharga berupa perhiasan emas, keris keris dengan berbagai modelnya. Salah satu diantaranya adalah sebuah hiasan dada dengan ukiran Garuda (kendaraan dewa Whysinu, yang kemudian menjadi lambang Negara Kita) terbuat dari emas 22 karat dengan 48 batuan permata yang masih tersisa dengab berat sekitar 1,1 kg. Diperkirakan perhiasan pelindung dada tersebut terbuat abad 12 atau 13 awal berdirinya kerjaan Majapahit.

Beberapa peninggalan lain yang dikoleksi museum ini banyak koleksi yang terpengaruh oleh Hindu-Budha, atau lebih dikenal dengan jaman Klasik. Peralatan dan persenjataan untuk memuja Shywa tersimpan dilemari lemari besi, berupa Trisula, Cakra, Cawan penerangan, kapak dan perlatan perang, patung patung dari Budha Mahayana yang sebagian besar terbuat dari Perunggu. Masih banyak koleksi lain ada yang berupa mata uang yang yang pernah digunanakan beberapa kerjaan di Indonesia. Hampir semuanya berupa koin dengan ukiran cetakan yang tidak begitu halus. Ada satu yang cukup menarik, mata uang dari kerjaan Maluku bukan berupa logam, tapi terbuat dari kain (lebih menyerupai kain serbet) dengan ukuran sekitar 15x15cm dengan motif garis kotak-kotak.

Disudut utara ada yang menarik dari kunjunganku kesini, disana ada beberapa peninggalan yang berupa naskah naskah. Ada kitab Negarakertagama yang terbuat dari lontar (duplikat) yang berisi cerita kunjungan raja Hayam Wuruk mengelilingi Majapahit dan juga silsilah rajaraja Majapahit. Terdapat juga Serat yusuf yang terkenal dari Sumenep Madura yang tersimpan dalam kotak ukiran kayu, tulisan dengan bahasa Arab, tulisan-tulisan jawa. Masih banyak naskah naskah lain yang terimpan disana, tapi sangat disayangkan, informasi yang ada sangat minim hingga sangat kurang informatif. Baik tentang alur sejarah benda koleksi maupun tentang penemuannya.

Koleksi lain yang terdapat dimuseum ini lebih cenderung koleksi budaya yang ada di Jawa timur. Mulai dari batik Jawa Timuran dan Madura, ukiran perabot rumah jawa, lemari ukir, kap lampu, keramik-keramik Cina kuno, wayang beber dan beberapa koleksi lainya. Disisi selatan lebih banyak ditemui koleksi koleksi jaman revolusi industi, yang berupa sepeda kuno, sepeda motor kuno buatan jerman, minatur perahu-perahu uap, miniatur pesawat tempur, telepon kuno sejak jalan sentral manual hingga sentral magnetik, persenjataan senapan kuno. Ada juga Koleksi foto Surabaya Lama juga dipajang dalam bingkai.

Dilantai dua adalah koleksi-koleksi berupa alat alat teknologi, aplikasi dari hukum-hukum Fisika, Archimedes, Pascal, dan beberapa pameran lain yang tidak jauh dari pemanfaat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern. Diantara bagunan utama dan bangunan satunya yang marupakan ruang serbaguna ada beberapa penemuan-penemuan yang berupa prasasti yang ditemukan disekitar Lumajang, sangat disayangkan selain tidak adanya informasi yang memadai juga prasasti itu terkesan dibiarkan dilantai meskipun ada tempatnya tapi terlihat beberapa bercak cat tembok diatasnya. Dilorong bawah banyak ditemukan arca-arca peninggalan Hindu, berupa arca Whysinu, Shywa, Ganesha, Hyang Durga dan Lingga. Satu ruangan lain yang kemarin tidak aku masuki karena tertutup adalah ruangan museum khusus penderita Tuna Netra. Dimana informasi yang tertera dituliskan dengan abjad Braile. Sangat membantu untuk sodara kita, tapi tentunya kurang bermanfaat apabila tidak ada promo dari pihak museum.

 “Ada yang kurang dari museum ini, disini tidak ditemukan naskah Sutasoma. Kitab tersebut adalah karya empu Tantular. Entah masih di Belanda atau sudah di Indonesia”, seorang penjaga museum bernama Sadari memberikan penjelasan singkat padaku dan Nurul.  Dari pencarianku di google menemukan kalau Kakawin Sutasoma saat ini tersimpan di Perpusatakaan Nasional. “Disini juga masih ada sekitar 500 koleksi yang belum ditampilkan, karena keterbatasan ruangan dan informasi dari peninggalan tersebut”. kami bebincang sekitar 15 menit tentang museum ini. Dari kitab Surasoma itulah semboyan bangsa ini berasal “Bhineka Tunggal Ika”. Jumlah kunjungan ke Museum tahun ini mulai banyak karena juga berteparan dengan TAHUN KUNJUNGAN MUSEUM yang digalakan pemerintah hingga tahun 2014. Awal pindah ke lokasi Buduran ini Museum Mpu Tantular kurang diminati, karena lokasinya yang berada dipinggiran kota Sidoarjo, juga letaknya yang berada disamping jembatan Layang, kurang menarik perhatian. Selain itu juga karena adanya perubahan Departemen yang mebawahinya. Sebelumnya pengelolaan Museum berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga ada kegiatan dari pihak museum yang dimasukan ke Kurikulim Pendidikan dengan pengenalan langsung disekolah sekolah. Tapi kini saat Museum berada dibawah Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, maka terpotonglah usaha yang sudah dilakukan sejak masa P&K, dan pihak Museum harus berusaha ekstra untuk menarik kunjungan dari pihak sekolah maupun dari masyarakat.

Bangsa ini sudah melewati banyak sejarah dan kebudayaan yang dilaluinya, sejak Jaman Presejarah, jaman Klasik (Hindu Budha), jaman Islam, jaman Kolonial, dan jaman Kemerdekaan. Begitu banyak peninggalan yang saat ini kita miliki. Mulai dari jaman-jaman Pra sejarah yang ternyata teknologi disini sudah cukup modern mampu membuat sebuah patung Gajah dari perunggu yang sangat halus, selain itu juga ada sebuah tungku gerabah besar dari perunggu yang digunakan untuk memuja leluhur. Agak berbeda dengan konteks yang ada dimuseum dengan adanya budaya bangsa ini yang lebih menakjubkan, tarian tarian indah, upacara-upacara adat yang besar. Timbul pertanyaan besar dari kami. Budaya seperti apa yang dahulunya mendiami sebagian tanah di bangsa ini hingga kebudayaan yang datang setelahnya masuk dengan mengadopsi kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Tentu sebuah kebudayaan yang besar dan berpengaruh kuat. Yang menunjukan Bahwa bangsa ini adalah pangsa yang besar.

Mungkin benar tentang cerita Atlantis adalah sebuah cerita kebesaran bangsa ini ribuan tahun silam.

**
Sesaat setelah mengunjungi museum Mpu Tantular, kali ini kami melanjutkan mengunjungi pusat kerjajinan kulit di Tanggulangin. menyusuri Jalanan Panas Sidoarjo sambil mengenang perbuatan gila kami menyusuri jalan itu setahun yang lalu dengan tujuan Pusat Semburan Lumpur Porong. Saat itu aku memulainya dari Ketintang Surabaya sejauh 25 km, sedangkan Nurul menemaniku sejak dari Sidoarjo. Tidak lama di pusat kerajinan kulit, kami berpindah kepusat kerajinan sepatu dan sendal di Wedoro. Dan hari itu aku selesaikan dengan berkunjung kerumahnya kang Dadank di Sidoarjo.


-hans-
www.trihans.com

Museum Mpu Tantular





Sidoarjo, 13 Juli 2010

Sabtu, 10 Juli 2010

House Of Sampoerna : Buruh Rokok yang menjelma menjadi Raja Rokok

Tangan-tangan cekatan, dengan gerak irama tubuh yang mengimbangi. Aku takjub sejak pertama melihatnya, semakin terkagum dan tak berpaling memperhatikan dengan seksama apa yang mereka kerjakan dibawah sana. Sepasang tangan menyiapkan kertas papir disebuah alat linting kayu yang sudah berumur, mungkin lebih tua dari umurku karena kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 60-an. Diatas kertas papir itu mereka meracik tembakau yang sudah diramu dengan aroma terjaga. Kemudian menarik tuas diantara pelinting itu dengan tekanan tertentu dan sebelah tangan membukanya dengan tangan kiri telah menyiapkan lem untuk merekatkan kertas papir tersebut. Maka terciptalah sebuah batang rokok dengan ramuan dan cita rasa khas yang selalu dijaga kualitasnya.

Disetiap tiga orang yang bertopi kuning sebagai pelinting tadi ada seorang bertopi hitam yang juga tidak kalah cekatan. Mengambil satu batang rokok memotong dengan tangan kanan disatu ujungnya, kemudian dengan irama yang serasi tangan kirinya memutar ujung rokok satunya dan memotong sisa-sisa tembakau yang keluar dari ujung ujung rokok kretek lintingan tersebut. Disudut ruangan lainya sekelompok orang bertopi merah menata batang-batang rokok itu kedalam kelompok kecil berisi 12 dan 16 batang. Menata dan menge-pack kedalam kantong kertas berwana hijau muda bertuliskan Rokok Kretek 234. 234 biasa dilafalkan dalam bahasa Mandarin, Djie Sam Soe. Semua gerakan itu dilakukan dengan irama dan kecepatan yang mencengangkan. Mereka seolah sambil menari mengikuti sebuah irama serempak yang memacu tubuh untuk tetap bergerak.



“Untuk mengimbangi proses itu memang pernah dilakukan penelitian dengan menggunakan irama musik tradisional untuk menyeragamkan gerak tersebut. Dimulai pagi hari dengan tempo yang lambat dan akan semakin bertambah temponya menjelang siang hari. Dan sebelum pulang disore hari, tempo akan diturunkan kembali”. Seorang penjaga museum bernama Mike memberikan sedikit penjelesan kepadaku dan Agoez.

Ini adalah kesempatanku yang ke empat mengunjungi House Of Sampoerna. Tapi di tiga kesempatan sebelumnya aku selalu datang kesini disaat tanggal merah, yang berarti juga hari libur bagi para buruh rokok kretek ini. Dan baru pertama kali aku melihat langsung proses pembuatan rokok dari lantai 2 dimana dahulu gedung ini pernah beberapa kali berganti fungsi, awalnya merupakan gudang Rokok, kemudian pernah menjadi Panti Asuhan Jaman Belanda dan juga pernah menjadi gedung pertunjukan kesenian, dimana tempatku melihat adegan melinting rokok tersebut adalah lantai dua untuk pengunjung VIP. Dengan disekat kaca tebal aku tak mampu mendengarkan keriuhan dibawah sana diantara buruh rokok tersebut. Yang ternyata saat aku melihatnya dari samping gedung yang kudengar adalah alunan music Orkes Dangdut dengan tempo yang cepat, sekitar jam 1 siang aku berkunjung ke HOS kemarin.

Dengan Pakaian serba hitam, pemandu museum yang terdiri dari anak anak muda menjelaskan singkat beberapa pertanyaan kami. Sesekali kudengar ia menggunakan bahasa asing saat seorang pengunjung dari luar negeri juga mengajukan beberapa pertanyaan. “Dalam satu jam rata-rata satu pelinting mampu menyelesaikan sekitar 325 batang, dan para pemotong (cutting) mampu merapikan sekitar 1000 batang rokok. Untuk proses Packing, satu pekerja mampu menge-pack sekitar 3000 batang dalam Pack Rokok siap jual dalam satu jam”. Sebuah penjelasan singkat dari penjaga HOS yang bertubuh gempal itu. Ingin rasanya terus bertanya sampai akhirnya aku kembali ke ruang pertama didekat pintu masuk.

Memang biasanya aku memulai kunjungan di HOS dari tiga ruangan yang ada dibawah, kemudian baru naik keatas. Namun karena aku teringat untuk melihat proses pembuatan rokok kretek tadi, aku mengajak Agoes untuk menuju ke lantai dua terlebih dahulu. Siang itu aku menemani teman teman dari Brantai Community yang baru turun dari pendakian ke Semeru. Brantai Community adalah komunitas pecinta alam yang beberapa kegiatanya lebih menunjukan kepedulian kepada dunia pendidikan di Indoensia. Beberapa kegiatan sosial telah mereka gelar di Sekolah-Sekolah Dasar terpencil. Aku baru mengenal komunitas ini akhir tahun kemarin. Dalam pendakian itu ada Mba Lisa, Agoez, Mas Mulyana, mba Nina dan 4 teman lainya, mereka berdelapan dalam pendakian tersebut.



Ada tiga ruangan dilantai dasar HOS, dan satu ruangan dilantai dua. Disambut dengan kolam ikan Koi kecil berbentuk lingkaran tepat didepan pintu utama. Lorong pertama ini berisi koleksi cikal bakal dari Pabrik Rokok Sampoerna. Benda-benda koleksi menarik yang sudah berumur dan bernilai histori tinggi bagi seorang Sampoerna. Surat Saham berharga pertama yang didaftarkan, 2 Sepeda ontel yang digunakan untuk menempuh Surabaya-Lamongan saat ia masih menjadi buruh rokok. Perabotan koleksi, lemari, meja kursi dengan ornamen ukiran jawa kuno. Miniatur tungku, gubuk warung tradisonal dan beberapa jenis tembakau local maupun dari luar negeri. Serta satu perangkat Slide Video yang menceritakan sejarah kedatangan seorang Sampoerna dari dataran Cina hingga sampai ke Surabaya mengisi sudut utara ruang pertama.

Di ruang berikutnya adalah koleksi Brankas kuno, lukisan-lukisan yang berbau rokok produksi Sampoerna. Ada juga lukisan rokok Kraton dengan foto Sri Sultan Hamengkebuono X dari Yogyakarta. Disebelah utara ruang ini ada satu koleksi menarik yaitu koleksi bekas bungkus korek api batang. Koleksi ini awal mulanya adalah milik seorang anak Belanda yang mengumpulkan kotak-kotak korek api sejak ia mengikuti keluarganya di Indonesia pada jaman Kolonial. Diatasnya terpampang Komisaris dan Direksi pemilik perusahaan rokok ini yang sebagian besar sahamnya telah dimiliki perusahaan asal Amerika, Philip Morris produsen rokok Marlboro.



Berpindah keruang ketiga, disini banyak berisi koleksi bungkus-bungkus rokok yang pernah dicetak. Beberapa rokok terkenal keluaran PT Sampoerna, A mild, DjiSamSoe, Sampoerna Hijau dan beberapa merek dagang lainya. Lengkap dengan sebuah mesin cetak kuno dengan master cetak logo 234. Melihat mesin cetak ini aku teringat dengan sebuah film buatan tahun 2008 yang dibintangi oleh Will Smith, sebuah drama Tragis tentang seorang yang maniak berbuat baik, hingga ia rela menyumbangkan organ tubuhnya untuk membantu orang yang butuh donor organ. Seven Pounds judul filmnya. Selain barang cetak itu ada juga koleksi perlengkapan dan foto pasukan Marching Band dengan warna dan lambang dominan A-mild merah putih, koleksi yang menarik dimana Marching Band dari Sampoerna ini pernah diundang di Disneyland Amerika.

Dengan dua tangga disisi kanan dan kiri ruang ketiga ini kita akan dihantarkan untuk memasuki lantai atas. Disisi tangga merupakan poster-poster konser yang pernah disponsori oleh perusahaan rokok ini. Ada Soundrenaline, Java Jazz dan beberapa acara musik lainya. Ruang diatas ini selain sebagai tempat untuk melihat proses pembuatan rokok kretek juga merupakan Souvenir Shop dari HOS. Mereka menyediakan beberapa barang koleksi yang menarik, ada kain batik, peta wisata beberapa daerah di Nusantara, juga merchant HOS yang berupa Kaos, PIN, gantungan Kunci, Kantong kain, Note book yang tentunya begambar anekaragam tentang HOS.

Dikoplek HOS ini ada beberapa Bangunan lainya seperti Café, Art Galeri yang kemarin juga ada pameran Mahasiswa arsitek dari Petra yang memaparkan konsep museum modern dari beberapa musem di Jawa timur. Dan Ada satu koleksi yang sebenernya cukup menarik, tapi ia berada diluar bangunan, sebuah Mobil Rolls Royce yang digunakan pemilik Sampoerna. Hanya saja letaknya yang diluar kadang kurang mendapat perhatian pengunjung.


Komplek HOS ini berada dijalan Kebalen, di Tambak Grinsing, tepat berada didepan Kantor Telkom Kebalen. Aku cukup mengenal daerah ini dengan baik, pernah kos selama 1,5 tahun hanya beberapa puluh meter dari HOS di Tambak Grinsing. Awal aku mencoba menjalani kehidupan di Surabaya dan berkantor di kantor Telkom didepan HOS tersebut. Untuk mencapai ke HOS dari terminal Bungurasih cukup naik bus kota satu kali jurusan Bungurasih- Jembatan Merah. Dan turun di bekas Penjara Kalisosok di Jalan Rajawali (tidak jauh dari Jembatan Merah), kemudian masuk kedalam sekitar 500 meter searah dengan jalan menuju ke kantor Telkom Kebalen. Lorong menuju ke HOS yang merupakan tembok penjara kini telah dilukis dengan lukisan tembok sepanjang gang tersebut sehingga menghilangkan kesan angker dan kusam dari penjara tersebut.

Untuk mengisi menu makan siang, kali ini aku mengajak rombongan dari Jakarta tersebut ke warung Lontong Balap Cak Pri, disisi selatan HOS. Cak Pri merupakan turunan ke tiga penjual Lontong Balap di HOS. Awal aku mengenalnya dia masih berjualan tepat sudut Pabrik Sampoerna, sekarang pintu gerbang HOS. Cak Pri mungkin sudah lupa dengan wajahku, setelah lebih dari 7 tahun tidak bertemu. Tapi aku masih mengingatnya karena aku teringat adegan pertanyaan anak Cak Pri yang mengira aku adalah orang Korea, selain kulitku putih mataku sipit persis penduduk daratan Tiongkok….Hyaaa!! bukan cuma sekali itu aku dianggap keturunan Cina. Karena cukup lama Cak Pri jualan di Sekitar pabrik Sampoerna, secara istimewa dia mendapatkan tempat di selatan HOS. Dan masih satu bangunan dengan HOS menghadap kejalan Kebalen.



Kunjungan kali ini aku akhiri dengan mengantakan teman-teman jauh ini menuju ke 2 Stasiun yang akan mengantar mereka ke Jakarta. Dari Stasiun Pasar Turi, Agoez dan 5 temanya akan ke Jakarta dengan naik kereta Kertajaya, Mas Mulyana akhirnya harus pisah dengan menggunakan kereta bisnis Gumarang, sedangkan mba Lisa aku antarkan ke Stasiun Gubeng karena tujuanya ke Bandung dengan naik kereta Mutiara Selatan.

**Sekilas kisah tentang HOS dan kunjungan team Brantai ke Surabaya, 7 Juli 2010. Terima kasih telah berkunjung ke kota panas ini, mohon maaf jika tidak bisa menjamu lebih baik…

foto 1 by Aji Rachmat (croping)
foto lainya dari Hape SE G502

Link:
official website HOS: http://houseofsampoerna.museum
foto-foto lain HOS disini dan disini
melihat HOS 360 derajat : www.360cities.net


-hans-
www.trihans.com

Selasa, 06 Juli 2010

Perempatan Sarinah disuatu sore..


Akhir April 2010,
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Langit sore itu masih menyisakan keganasan panas yang telah ia lewati siang tadi. Kaki-kaki berwajah lusuh meramaikan sudut demi sudut dari ujung Medan Merdeka Barat sampai Sudirman. Debu kumal menyesakan nafas sore yang semakin padat. Retakan-retakan keriput wajah yang hampir terlupakan menandakan bahwa ia telah tua lebih lama dijalanan. Lalu lalang saling menyalip lambaian kernet metromini menampar getirnya ibu kota yang semakin tua tanpa pernah ia sadari. Thamrin Sore itu…

Dua termos dibelakang dan satu keranjang penuh mimpi didepan. Menjajakan keringat mencoba menghilangkan dahaga, kau dari kaum marjinal mengusir haus tenggorokan kaumu. Atau mungkin kau memanfaat derita kami untuk menyambung hidupmu dalam seteguk asa. Air panasmu menemaniku sore itu yang teridam terpaku menikmati kesunyian dikeramaian satu puncak jam sibuk dikota terpadat . Duduk bersila laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura. Di singgasana agung melupakan keberadaan rakyat jelata yang lelah mengadu nasib dikotak kotak kepenatan.

Masih aku menikmati, atau aku terpukau akan ribuan manusia yang menyemut meramaikan jalan bersilang itu. Separator koridor 1 ditengah membelah menghantarkan lebih cepat menuju peraduan rebah. Tempat dimana cinta-cinta diciptakan mengembang bagai sarang tawon muda. Dan jika raga telah penuh daya lagi esok pagi, tak bisa kau pungkiri bahwa jiwamu telah terbeli segepok mimpi di ujung rem-bulan. Aku masih menikmati sore itu…

Termenung merangkai hari dari ujung rel di stasiun kota tadi pagi, melangkahkan kaki letih disekitar bangunan tua, menggali sejarah Jakarta diantara rangkaian kata disetiap prasasti. Aku terkagum, bangsa ini sungguh besar diagungkan dicari direbutkan dan akhirnya dijajah tuan tuan berilmu tinggi. Kini… aku hanya mengagumi keindahan yang pernah tercipta dari usangnya tembok disekitar istana. Atau dinginya lorong berlumut di penjara bawah tanah. Tak lelah kusapa kumpulan wayang-wayang ekspresi bumi kuno dari Ramayana Mahabarata, epos yang telah ada sejak 1500 SM. Sungguh tua kisah itu…

Dan setelah kucapai atap Batavia diantara peluh dan terik ini, maka sore itu aku kembali tertegun pada magnet kehidupan yang menarik perhatianku. Jakarta yang begitu ramai, dan aku jadi penonton yang menyaksikan suguhan kepenatan. Pecahnya satu jam pasir saat ribuan manusia menyelesaikan hukuman dari ruang penat disudut mejanya.

Aku masih duduk bersila diatas singgasana, laksana Gajah Mada menjaga Madakaripura..


***

“Han malu ih” tante Nha yang baru saja berlari kecil meyeberangi zebra cross diperempatan Sarinah menyapa dan membangunkan lamunanku yang sedang menikmati keramaian sore itu ditemani kopi digelas plastik kecil. Ia baru keluar dari gedung berwana coklat yang sejak tadi aku pandangi disisi barat tempatku duduk. Dan disinilah kami berjanji untuk bertemu di Perempatan Sarinah.

“malu-maluin banget sih, keliatan udiknya apa boneknya” lagi tante menambahi mengomentariku. Jarinya beberapa kali mencolek dari belakangku yang masih bersila diatas panel listrik disalah satu sudut perempatan itu. Ia mungkin malu mengajaku berbicara terang-terangan diantara keramaian manusia. Pukul setengah lima sore itu.

“Kenapa mesti malu, kan cuma duduk” aku menyangkal.

Dan kemudian mencoba membayangkan menjadi orang lain yang melihatku sore itu. Disudut timur laut perempatan Sarinah, tepat didepan sebuah kedai kopi yang berlogo lingkaran hijau. Ada 3 buah panel listrik dan salah satu panelnya yang ditengah hanya berupa pondasi cor setinggi satu meter tanpa ada panel besi diatasnya. Sambil menunggu tante Nha yang masih sibuk dengan pekerjaan akhir bulan-nya. Aku memilih mencari tempat nyaman untuk menunggunya. Maka Panel itu menjadi tempat yang nyaman untukku duduk sambil istirahat setelah sehari penuh sendirian melangkahkan kaki di kota tua. Memasuki ke empat musemnya dari Museum Keramik dan Seni Rupa, museum Sejarah Jakarta musem Wayang dan Museum Bank Mandiri. Masih ditambah lagi dengan jalan kaki dari Halte Monas mengelilingi Monumen Nasional dan sampai akhirnya naik lift keatas Monumen. Meskipun sebelumnya sempat protes kenapa jalan masuknya jauh banget… (padahal ada kereta yang gratis mengantarkan sampai pintu masuk…hyaa !!)

Sebelum sampai di Perempatan Sarinah aku sempat tertidur ditaman selatan monas dan kemudian menyapa beberapa teman yang berkantor di Wisma Antara. Segendongan backpack 35lt dengan kondisi full pack menemani langkahku seharian ini. Dan sore itu sambil menunggu tante Nha, aku memilih menikmati keramaian Jakarta, orang-orang lalu lalang dengan langkah cepat berebut kendaraan umum, sepeda motor yang tak tau malu melewati trotoar disisi kanan jalan. Juga penjual minuman panas dengan dua termos dibelakang dan sekeranjang minuman instan didepan saling salip dengan penjual lainya. Sungguh seru apa yang kuperhatikan sore itu. Mungkin sama serunya dengan mereka yang memperhatikanku sedang duduk bersila dalam kedamaian dipusat keramaian itu, hahaaha…

Maka Perempatan Sarinah sore itu aku tinggalkan dengan penuh senyum, entah tentang rasa coffein yang masih hangat atau karena tersenyum mengingat kelakuanku menjadi manusia Bonek dikota Jakmania…..


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mengawali perjalananku seminggu di jakarta untuk JUST Travellers.



hans
www.trihans.com

Jumat, 02 Juli 2010

Nuansa Ular Jogja

Start:     Jul 10, '10 08:00a
End:     Jul 10, '10 3:00p
Location:     Pendopo Taman Kuliner, Condong Catur Jogja


SIOUX - Lembaga Studi Ular Indonesia untuk menggelar..


Nuansa Ular Jogja..
Sabtu, 10 Juli 2010

Pendopo taman Kuliner, Condong Catur
(barat terminal concat)

Biaya hanya Ro 25.000 untuk pelajar dan mahasiswa Dan Rp 50.000 untuk umum..

Fasilitas : makan siang, piagam, id card, makalah pengantar SIOUX
Acara dari jam 08.00 - 15.00 WIB

Pemateri :
Aji Rachmat dan Instruktur SIOUX


AYO IKUT ... hehehe... :D


Teknis Pendaftaran :
1. SMS ke 08562851490 dengan isi : nama#hp#usia#email untuk menyatakan diri mebgikuti Nuansa Ular
2. Kirim email ke ularindonesia@yahoo.co.id berisi data di atas
3. Transfer biaya ikut serta ke 
BNI Syariah 
a.n. Yori Arif Hamid 
No Rek 0092164369.

info lebih lanjut ke Yori di 08562851490 atau cek web SIOUX di www.ularindonesia.com


SIOUX
Lembaga Studi Ular Indonesia