Sabtu, 26 Desember 2009

Catper Slamet [8] : Wangimu menyelaraskan tenda-tenda kami...

-Puncak Batuan Merah yang panjang-
Puncak Slamet, 20 Desember 2009

Jam 3 dini hari, teriakan-teriakan kecil dari atas sana membangunkan kami. Tenda Eiger UL warna biru toska itu ternyata cukup hangat untuk ditiduri kami bertiga. Menyiapkan dan memakai kembali sepatu track yang sudah tidak bersih lagi. Dan menggendong kembali daypack Hikeholic yang aku pinjam dari Doifani, semalam sebelum aku pergi ke kota Malang kemarin. Daypack ini sudah dipenuhi dengan snack-snack kecil untuk dimakan diatas nanti. Mas Sen lebih memilih menemani Sekar yang masih enggan bangun dari tendanya. Sedangkan aku, Ikhwan, Opay dan DCumi akhirnya meninggalkan mereka berdua disana.

Mendaki, memasuki rerimbunan semak yang menyesatkan, karena kami sempat salah jalan. Teringat saat team Argopuro nyasar, karena rumpun semak yang aku temui sama persis seperti di Argo, yang akhirnya kami buka dengan parang untuk menemukan kembali jalur pendakian setelah tersesat semalam sehari. Pengalaman tak akan terlupakan apalagi itu trip pertamaku bersama JPers yang selama ini hanya sering sapa di milis dan cathingan YM. Dan dini hari itu kami tersesat sejenak, bolak-balik mencari jalan yang sudah pernah dibuka tapi dibeberapa titik aku temui kebuntuan. Akhirnya Cobus menemukan jalan lain di sisi kiri, awal yang salah yang kami pilih. Terus mendaki diantara semak itu dan beberapa kali menemui sepetak tanah untuk bediri menikmati lampu-lampu kota. Disetiap petak itu aku matikan sejenak headlamp-ku… Menikmati tanah kelahiranku, tanah dimana aku dibesarkan di dataran Banyumas mirip dengan bumi tengah seperti Midle Earth dalam cerita Trilogi Lord Of The Ring yang selalu damai sebelun Sauron, Dark Lord menghancurkan kerajaan manusia.

Dan akhirnya batas vegetasi dari kelompok semak hijau kering dan Edelweis itu berganti dengan bunga-bunga cantiqi yang sesekali terlihat bergerombol diantara batuan merah vulkanik. Hijau cerah pada daun dan merah menyala pada bunganya, hidup sendiri seperti tak peduli pada bau belerang yang semakin menyengat. Menyesakan dada dan hampir memaksa untuk memuntahkan metabolisme yang tersisa ditubuh ini. Aku terus menjejaki batuan batuan rapuh itu yang semakin terasa tanpa ujung. Lebih dominan dengan batuan vulkanik merah maupun batuan sulfur kuning dari lelehan belerang. DCumi dan Opay terlihat dengan susah payah melewati jalur ini didampingi Ikhwan sang sweeper. Sedangkan aku terus mencoba bergerak dengan sesekali duduk diatas bebatuan itu.

“Mau gula merah han” Bang One menawariku sepotong gula kelapa merah dari genggamanya.
“Boleh bang” segera kuraih penambah stamina alami itu. Sambil sesekali melumat dan menggigitnya kami beriringan merangkak dan berjalan disana.
“Gw kalo lagi mendaki kaya gini, inget gak mau lagi ngerokok Han. Berat nih nafas” sedikit curhat tapi dia malah mengeluarkan sebatang rokoknya dan membakarnya menjadi bara nikmat bagi yang mencanduinya… haha… gak konsisten banget dah.

Sedikit mendaki keatas kembali kutemukan komandan Obie sedang menunggu sunrise, ia duduk disebuah batuan sambil matanya mengintip dibalik lensa SLR-nya. Disisi lain ada juga Benno yang keliatan sama menunggu matahari yang mulai merekah menggariskan cakrawala dilangit sebelah timur. Sedikit awan berkumpul disisi tenggara, karena kontur disana adalah perbukitan Krumput disekitar Banyumas Banjarnegara yang memanjang hingga ke kaki kaki Sindoro Sumbing membatasi.

Menjelang pukul 6 pagi, aku jejakan kaki dipuncak tertinggi kedua ditanah Jawa ini. Syukur alhamdulillah akhirnya bisa kugapai puncak ini, setelah 16 bulan lamanya tidak menyentuh gundukan tanah tertinggi disuatu pencakar langit yang menurut sebuah ayat yang aku yakini, tingginya puncak sama dengan dalamnya tanah yang menghujam kedalam perut bumi. Berdiri kokoh bagai pasak mencengkeram lapisan bumi agar tidak terbang seperti layaknya awan… Subhanalloh… maha sempurnanya sang pencipta yang menciptakan gunung-gunung dan alam ini.


Dan kini aku berdiri disana..
Tanpa pernah kutemui sosokmu yang selalu kucari..
Yang kutemui hanya
kekosongan…
Keheningan…
Kehampaan…

Tanpa pernah benar-benar aku mengerti keberadaanku disini..
Mencintai…mengagumi… atau hanya sekedar lari dari takdirku sebentar..

(mirip puisi untuk savanna kecil di Semeru yang pernah kutulis…tapi maksudnya memang sama… bukankah beg..begitu ?)

Sesi foto-foto dengan berbagai pose kami jalani. Sang fotografer bertugas sesuai perannya membidik dan menempatkan mata-mata lensa pada target yang sempurna antar pendaki dan kawah terluas dijawa ini. Dan kami pun menerima nasib dengan sebaik-baiknya nasib menjadi objek tanpa pernah protes akan arahan sang mata jeli yang selalu bergetar lebih cepat dibalik lensa. Sungguh sempurna….ya sangat sempurna apalagi bagi diriku yang tidak memiliki kamera ini.



Bersambung...


3 komentar:

opay . mengatakan...

hiks...sampe paling akhir :((

HANS ' mengatakan...

selamat...anda sampai dipuncak..

opay . mengatakan...

hahahahaha..biar terlambat sampe puncak yg penting ga kehilangan moment buat foto2 :D